Banda Aceh (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) diminta mengintensifkan program sosialisasi moratorium logging (jeda) tebang hutan agar masyarakat lebih memahami mengenai batasan-batasan yang ditentukan. "Hingga saat ini masyarakat kebingungan tentang moratorium logging terutama mengenai wilayah mana yang bisa dan tidak boleh ditebang," kata Dede Suhendra dari World Wild Fund (WWF) Indonesia, di Banda Aceh, Kamis. Pada diskusi publik terkait setahun moratorium logging yang dicanangkan Gubernur Provinsi NAD Irwandi Yusuf, ia menjelaskan, masyarakat bingung, termasuk pada lembaga peduli lingkungan hidup. "Bahkan, pernah sebuah lembaga donor asing menanyakan dimana mereka bisa memperoleh kayu legal sebanyak 30 meter kubik atau minta ditunjukkan pedagang mana yang menjual kayu berizin," katanya. Jangan langgar Instruksi Gubernur NAD! Lembaga itu berupaya menghindari jangan sampai melegalkan kebijakan yang dilarang pemerintah, karena moratorium logging itu tertuang dalam instruksi gubernur NAD No.05/INSTR/2007. Jeda tebang hutan diikuti dengan dibentuknya Tim penyusunan rencana strategis pengelolaan hutan Aceh (Tipereska) melalui surat keputusan No.5222.1/534/2007. "Kita mendukung dan memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap kebijakan Pemerintah Aceh sebagai salah satu upaya menjaga agar hutan tetap terlindungi," kata dia. Dede Suhendra menjelaskan masyarakat terutama mereka yang bertempat tinggal di pinggiran hutan belum mengetahui tentang pemanfaatan jenis kayu dan lokasi pohon yang bisa ditebang. Padahal, dalam petunjuk moratorium itu jelas yang dilarang merambah hutan dan pembekuan sejumlah HPH. "Artinya, tidak menjadi masalah jika memang kayu yang ditebang itu dari kebun milik sendiri," katanya menambahkan.(*)