Sumba Barat Daya, NTT (ANTARA) - “Salut dan proficiat untuk program Seniman Mengajar. Presentasi akhir ini membuka pikiran dan mata saya bahwa Sumba punya kesenian yang hebat. Alat musiknya bukan hanya tambur dan gong,” tulis seorang warga Waitabula, Herony Nudu dalam akun Facebook.

Unggahan tersebut dibuat untuk mengapresiasi penampilan para pemain musik tradisional Dungga Roro khas Sumba, khususnya dari kampung adat di Wilayah Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Senin malam 2 September 2019.

Para pemusik dari kampung Kodi Bagendo di pelosok Sumba itu dihadirkan oleh Agus Budi Nugroho, satu dari empat seniman yang diterjunkan ke Kabupaten Sumba Barat Daya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam program Seniman Mengajar 2019.

Di hadapan ratusan penonton dan seniman yang hadir di Rumah Budaya, Sumba, malam itu terdengar alunan Dungga Roro, yaitu instrumen musik petik tradisional yang terbuat dari bahan-bahan alami, sebagian dungga merupakan “instrumen” baru yang dikembangkan oleh Agus dengan menggunakan tempurung kelapa dan batang bambu.

Alunan musik dan pembacaan syair oleh para seniman dari suku Kodi itu menggugah perhatian penonton mengingat pertunjukan serupa sudah amat langka, paling hanya petikan Dungga yang dibuat untuk kepentingan cendera mata.

Agus, seniman musik lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogyakarta mengatakan sangat senang mendapat kesempatan berinteraksi dengan pemusik tradisional di Sumba dan membawa mereka “keluar kampung” untuk tampil di Rumah Budaya.

“Ini seperti nenek moyang yang memakai raga saya untuk mencari dan menemukan instrumen musik lokal yang nyaris punah, sehingga saya bisa melakukan aktivasi Dungga Roro sebagai item penting untuk Pendidikan musik dan atraksi pariwisata,” katanya dalam wawancara dengan Antara.

Dia menambahkan, dalam interaksinya dengan warga kampung Kodi Bagendo, dia juga mengajak warga untuk merintis jalur wisata edukasi ke pusat pembuatan dan pembelajaran Dungga Roro di permukiman mereka.

Warga diajak mengikuti lokakarya membuat berbagai macam Dungga Roro versi organologi sederhana secara massal di Kodi Bangedo, pada tanggal 7, 12, dan 14 Agustus, menggunakan bahan alami.

“Tidak perlu pabrik. Ini menurut saya, betul betul instrumen dengan bahan-bahan yang bisa ditemukan di sekitar,” ujar Agus yang sudah tiga tahun berturut-turut terpilih sebagai pelaku seni dalam kegiatan Seniman Mengajar.

Agus melihat bahwa seni musik di SBD yang selama ini lebih banyak digunakan dalam ritual dan melekat dengan seni tari, berpotensi untuk dikembangkan dan digarap menjadi seni yang mandiri dan dapat dikembangkan dengan pengayaan alat musik serta komposisinya.

Keunggulan musik Sumba menurutnya adalah dimainkan dengan nada yang khas yaitu Bes-Cis-D-G dan beberapa dengan nada Dis.

“Saya menyebutnya Sumbatonic (pentatonic Sumba). Ramuan gong perkusif disertai dengan teriakan-teriakan pakalaka dan payawau itu juga merupakan harmoni yang mungkin satu-satunya di dunia,” katanya.

Payawau adalah seruan oleh kaum pria untuk mengawali sebuah permainan musik dan tari, biasa disambut oleh pakalaka yaitu jeritan berirama dengan menggetarkan lidah yang dimainkan oleh para perempuan.

Baca juga: Anton Prabowo ajak pelestarian tari sambil mencipta kreasi baru


Ketukan mirip Yanni

Ketukan musik Sumba dominan 7/8 mengingatkan Agus pada gubahan Yanni (Yiannis Chryssomallis), komposer Yunani yang juga banyak menggunakan ketukan dengan irama 7/8, misalnya dalam komposisi “Santorini”, “The Keys of Imagination”, “Deliverance” dan seterusnya.

“Munginkah Yanni pernah ke Sumba? ketukan 7/8 adalah jawabannya,” ujar Agus dengan pandangan menerawang.

Seni musik Sumba berpotensi untuk dikemas sebagai pertunjukan musik yang bukan sekedar bersifat perkusif yang terdengar sebagai ketukan atau irama saja, melainkan juga memasukkan unsur melodik, ujar Agus yang saat ini membina Sembilan komunitas musik bambu di Jogya dan sekitarnya.

“Gong dan Dungga Petik 4 juk sebenarnya juga instrumen melodi, namun masih disikapi sebagai sebuah instrumen perkusi,” katanya.

Sisi yang bisa ditingkatkan adalah penggarapan instrumen gong sebagai sebuah melodi demikian juga dengan Dungga petik 4 juk yang tidak melulu bersifat ritmis dan perkusif ritmis, katanya.

“Perlu referensi irama lain tanpa mengubah inti utama bahan baku instrumen. Tambahkan suling misalnya, atau set instrumen gong diperbanyak lagi,” Agus menyarankan.

Pada keikutsertaannya dalam program Seniman Mengajar 2017 di Natuna, Kepulauan Riau, Agus menggarap musik batu dan dari daun-daunan, sedangkan untuk program Seniman Mengajar 2018 di Toraja Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel) dia mengangkat bebunyian alam sebagai musik.

Suara-suara basing dari tanah liat, La’pa-la’pa dari belahan bambu, Pelle suara dari batang padi yang ditiup serta bamboo Tallang khas Toraja yang dipukul-pukulkan ke lantai hasilkan suara merdu ritmik perkusif melodik.

Bukan hanya mengenai Dungga, selama 43 hari di Sumba Barat Daya sejak akhir Juli hingga awal September, Agus juga memberikan pelatihan musik dengan beberapa komunitas, memberi lokakarya (workshop) kepekaan bunyi dan juga menciptakan lagu-lagu bertema sayur untuk kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

“Saya senang PAUD kami bisa mendapat kunjungan seniman mengajar ini,” ujar Meria Yuliana Kalumbang, seorang pendidik PAUD yang juga hadir dalam lokakarya (workshop) kepekaan bunyi.




Baca juga: Lembaga Adat Kampung Ratenggaro berdayakan warga agar sadar wisata

Matri Mitra Sari Cony Bili, Kasie pengembangan SDM pada Dinas Pariwisata Kabupaten SBD melalui lokakarya (workshop) kepekaan bunyi, mengaku mendapat pemahaman baru yaitu bahwa suara musik ada banyak ragam dan bisa dihasilkan dari bermacam-macam peralatan.

Ketukan tangan, lantai, botol plastik, pecah belah bahkan dengan denyut nadi dapat membangun kekuatan rasa untuk memahami musik.

"Hanya beberapa jam diajar oleh Mas Agus saya bisa dapat ilmu baru yang sangat membantu untuk meningkatkan rasa dalam bermusik," kata Mitra yang selama ini juga bermain musik.

Agus mengatakan bersyukur bisa berbagi dalam program Seniman Mengajar ini karena dia yang mengaku pernah mengalami gagal ginjal dan “megatruh” dua kali dalam hidupnya, kini mengungkapkan rasa syukur atas nafas hidupnya dengan terus bergerak, belajar, mengajar dan berbagi untuk kemajuan seni dan budaya khususnya seni musik tradisional Nusantara.

Masih ada mimpi Agus menjelang akhir kegiatannya di Sumba, bahwa bisa diajarkan di sekolah dan sanggar-sanggar sehingga bisa berkembang dan berpotensi untuk memajukan pariwisata edukatif, apalagi jika di kampung Kodi Bagendo yang berjarak 35 Km dari pusat kota Waitabula, bisa dibangunkan rumah untuk pusat kegiatan bermusik.*

Baca juga: Tenun Sumba, karya seni lekat tradisi