Kupang (ANTARA) - Kasus rabies di Nusa Tenggara Timur, pertama kali terjadi pada 1997 di Kabupaten Flores Timur, dan langsung mewabah ke sembilan kabupaten lainnya di daratan Pulau Flores dan Lembata.

Saat itu, ditemukan orang yang sakit dengan gejala rabies dan punya riwayat pernah digigit anjing dalam beberapa minggu sebelumnya, dan hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan orang tersebut positif rabies.

Penyelidikan epidemiologi menemukan penularan penyakit tersebut disebabkan oleh tiga ekor anjing yang dibawa oleh nelayan dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemis rabies.

Anjing-anjing tersebut dibawa secara ilegal oleh para nelayan ke Pulai Flores melalui Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur di ujung timur Pulau Flores.

Hanya dalam waktu satu tahun rabies sudah menyebar di daratan Flores dan Lembata. Penularan di Kabupaten Sikka (1998), Kabupaten Ende (1999), Kabupaten Ende (1999), Kabupaten Ngada (2000) dan dan terakhir kabupaten Manggarai (2001).

Pada Akhir tahun 2001 penyebaran rabies ke arah timur yaitu di Pulau Lembata. Di Provinsi NTT, rabies hanya menyebar di sembilan kabupaten di Pulau Flores.

Perjalanan wabah rabies 1997-2012, kasus rabies di Flores dan Lembata telah mencapai 32.740 kasus gigitan dengan jumlah korban yang meninggal dunia 228 orang.

Hingga Februari tahun 2014 kematian meningkat 7,89 persen menjadi 246 kasus. Kemenkes RI mentargetkan Indonesia bebas rabies 2020 dan Flores – Lembata bebas rabies 2017. Namun, sampai saat ini, kasus rabies masih tetap terjadi.

Lalu, bagaimana upaya untuk mengendalikan dan memberantas zoonosis rabies? Ada empat subsistem yang dinilai sangat berperanan, yakni sistem surveilans dan monitoring nasional, kewaspadaan dini dan darurat penyakit, informasi kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

Virus lyssa bersifat neurotrop, yang akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang merupakan tempat mereka berkembangbiak dengan kecepatan 3mm/jam.

Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.

Keganasan Lyssavirus terjadi pada hewan domestik atau hewan liar dengan tingkat fatalitas mencapai 100 persen terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.

Baca juga: Akibat gigitan anjing rabies, satu anak di Manggarai-NTT meninggal

Baca juga: Rabies di Sikka tak berpengaruh pada kunjungan wisatawan di NTT



Penjaga keamanan

Virus rabies yang masuk ke tubuh manusia melalui gigitan HPR (hewan penular rabies), dan kebanyakan adalah anjing.

Menurut WHO 99 persen kasus rabies pada manusia ditularkan oleh anjing. Di Indonesia 98 persen kasus rabies ditularkan akibat gigitan anjing dan 2 persen adalah akibat gigitan kucing dan kera.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyebutkan anjing merupakan Population At Risk di Flores dan Lembata. Anjing, merupakan hewan yang paling dekat dengan manusia karena sifatnya setia terhadap tuannya.

Di Flores dan Lembata, anjing dapat digunakan sebagai hewan penjaga keamanan di rumah maupun kebun, selain dipercaya sebagai penemu air dan api, sehingga anjing sangat disayangi dan mendapat perhatian khusus.

Vaksinasi merupakan salah satu langkah pemerintah dalam upaya mengendalikan rabies di Flores dan Lembata, namun masih menjadi kendala karena keterbatasan vaksin yang disiapkan, bahkan telah kehabisan stok VAR (vaksin anti rabies).

Hasil penelitian diperkuat oleh informasi Kepala Seksi Penanggulangan Penyakit dan Rabies Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata bahwa kasus gigitan anjing terus meningkat, namun Kabupaten Lembata kehabisan stok Vaksin Anti Rabies (VAR).

Menurut WHO, empat dari 10 anak meninggal dunia setiap tahunnya karena terinfeksi rabies. Di Indonesia, sebagian besar terjadi pada anak-anak antara 5-9 tahun dengan angka kematian 100 persen.

Transmisi virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi, kepada hewan lainnya atau manusia melalui gigitan atau melalui jilatan pada kulit yang tidak utuh.

Virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang merupakan tempat mereka berkembang biak dengan kecepatan 3mm per jam.

Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa yang ditimbulkannya.

Keganasan virus rabies yang menyerang susunan saraf pusat baik pada hewan maupun manusia berakibat fatal dimana tingkat kematian mencapai 100 persen.


Ketiadaan VAR

Pada manusia tingkat kematian tertinggi pada anak usia 4-15 tahun. Upaya yang telah dilakukan untuk pengendalian rabies di Flores dan Lembata adalah melalui VAR serta eliminasi total, namun belum menunjukkan keberhasilannya.

Hal ini terjadi, karena terbatasnya ketersediaan VAR dan perilaku masyarakat pemilik anjing yang kurang mendukung program pemerintah sehingga menyebabkan rabies masih tetap bertahan dan kasus kematian pun terus meningkat di Flores dan Lembata.

Hal ini dialami oleh AP, seorang anak berusia 12 tahun di Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, yang menghembuskan nafasnya terakhir pada Senin (2/9) setelah terkena gigitan anjing rabies pada 23 Juli 2019.

"Saya baru dapat informasi tersebut, dan menyayangkan hal ini karena yang bersangkutan meninggal akibat tak mendapatkan suntikan vaksin antirabies dan serum antirabies setelah terkena gigitan," kata pemerhati rabies dari Rumah Sakit TC Hillers Maumere, Kabupaten Sikka dr Asep Purnama.

Kepala Dinas Peternakan NTT Dani Suhadi juga mengakui adanya kasus tersebut, dan mengatakan kisah sedih yang sama dialami pula oleh dua orang penduduk asal Kabupaten Flores Timur dan Sikka pada Agustus lalu.

"Kasus tersebut sebenarnya bisa ditangani jika segera dilaporkan kepada petugas kesehatan terdekat," katanya dan menambahkan seluruh kabupaten di Pulau Flores merupakan daerah yang terpapar rabies sehingga dibutuhkan kewaspadaan masyarakat.

Agar pengendalian rabies berjalan dengan baik dan memenuhi target Indonesia bebas rabies tahun 2020 maka perlu penambahan anggaran untuk pengadaan VAR, serta koordinasi yang lebih intensif antara pemeritah pusat dan daerah untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya rabies.

Surveilans rabies (pra monitoring dan pasca vaksinasi) perlu ditingkatkan, selain memperketat pengawasan lalu lintas hewan penular ini, karena penyebaran rabies sebagian besar terjadi karena masuknya hewan penular dari daerah lain.*

Baca juga: Dinas Peternakan NTT siapkan 200.000 dosis vaksin rabies

Baca juga: Anjing di Sikka dieliminasi total