Akibat kekeringan, 90 persen lahan di desa Bantul tidak dapat ditanam
3 September 2019 09:19 WIB
Salah satu lahan pertanian kekeringan karena kemarau di wilayah perbukitan Kecamatan Dlingo, Bantul, DIY (Foto ANTARA/Hery Sidik)
Bantul (ANTARA) - Pemerintah Desa Munthuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyebut hampir 90 persen dari total lahan pertanian seluas 2.000 hektare di wilayah setempat tidak dapat ditanami tanaman akibat kekeringan karena dampak musim kemarau 2019.
"Kalau daerah sini itu kebanyakan lahannya kering, bahkan hampir 90 persen lahan yang ada tahun ini tidak panen, itu yang musim tanam tahap kedua ini ya," kata Kepala Desa Munthuk Dlingo, Kelik Subagyo di Bantul, Selasa.
Menurut dia, dari total lahan pertanian 2.000 hektare yang tersebar di beberapa pedukuhan se-Desa Munthuk seperti Seropan, Tangkil, Gunung Cilik dan Karangasem tersebut yang ditanami hanya seluas 200 hektare atau 10 persen, itupun hasil panenan kurang maksimal.
"Yang biasanya hasil panen paling melimpah itu setelah hujan agak kering beberapa bulan itu hasilnya yang paling bagus, tapi sekarang banyak yang tidak dapat panen, bahkan ada yang kering di tengah jalan, hanya sekitar 200an hektare itu yang bisa ditanami," katanya.
Kelik mengatakan, lahan yang tidak dapat ditanami tanaman pangan pada musim kemarau ini karena di sekitarnya tidak terdapat sumber air, melainkan daerah tadah hujan, berbeda dengan daerah yang ada mata air yang dikelola masyarakat untuk kepentingan pengairan maupun kebutuhan lain.
"Yang bisa itu hanya yang ada sumber airnya yang muncul ke permukaan, kalau (daerah) yang lain kan cuma tadah hujan, sehingga enggak bisa, kalau enggak ada air hujan ya petani kita nggak bisa panen, bisa panen tapi hanya satu kali padi saat hujan," katanya.
Dia menjelaskan, wilayah Munthuk yang kondisi geografisnya berada di perbukitan atau dataran tinggi itu selama ini petani hanya menanam padi, sangat jarang yang menanam palawija, karena model pengairan bukan irigasi, sehingga kalau tidak ada hujan kesulitan air.
Dia mengatakan, langkah yang dilakukan pemerintah desa adalah berkomunikasi dengan kelompok tani maupun gabungan kelompok tani (gapoktan) agar bisa mengkondisikan lahanya, termasuk dengan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Dlingo jika ada bantuan benih untuk musim tanam selanjutnya.
"Di gapoktan dan poktan dan itu bantuannya bentuknya benih, kalau musim hujan nanti dari BPP kerja sama dengan gapoktan untuk pembibitannya, dan biasanya petani itu dikenai biaya murah, misal kalau beli di toko itu Rp60 ribu, tapi di poktan sekitar Rp20 ribu atau sesuai dengan kesepakatan," katanya.
"Kalau daerah sini itu kebanyakan lahannya kering, bahkan hampir 90 persen lahan yang ada tahun ini tidak panen, itu yang musim tanam tahap kedua ini ya," kata Kepala Desa Munthuk Dlingo, Kelik Subagyo di Bantul, Selasa.
Menurut dia, dari total lahan pertanian 2.000 hektare yang tersebar di beberapa pedukuhan se-Desa Munthuk seperti Seropan, Tangkil, Gunung Cilik dan Karangasem tersebut yang ditanami hanya seluas 200 hektare atau 10 persen, itupun hasil panenan kurang maksimal.
"Yang biasanya hasil panen paling melimpah itu setelah hujan agak kering beberapa bulan itu hasilnya yang paling bagus, tapi sekarang banyak yang tidak dapat panen, bahkan ada yang kering di tengah jalan, hanya sekitar 200an hektare itu yang bisa ditanami," katanya.
Kelik mengatakan, lahan yang tidak dapat ditanami tanaman pangan pada musim kemarau ini karena di sekitarnya tidak terdapat sumber air, melainkan daerah tadah hujan, berbeda dengan daerah yang ada mata air yang dikelola masyarakat untuk kepentingan pengairan maupun kebutuhan lain.
"Yang bisa itu hanya yang ada sumber airnya yang muncul ke permukaan, kalau (daerah) yang lain kan cuma tadah hujan, sehingga enggak bisa, kalau enggak ada air hujan ya petani kita nggak bisa panen, bisa panen tapi hanya satu kali padi saat hujan," katanya.
Dia menjelaskan, wilayah Munthuk yang kondisi geografisnya berada di perbukitan atau dataran tinggi itu selama ini petani hanya menanam padi, sangat jarang yang menanam palawija, karena model pengairan bukan irigasi, sehingga kalau tidak ada hujan kesulitan air.
Dia mengatakan, langkah yang dilakukan pemerintah desa adalah berkomunikasi dengan kelompok tani maupun gabungan kelompok tani (gapoktan) agar bisa mengkondisikan lahanya, termasuk dengan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Dlingo jika ada bantuan benih untuk musim tanam selanjutnya.
"Di gapoktan dan poktan dan itu bantuannya bentuknya benih, kalau musim hujan nanti dari BPP kerja sama dengan gapoktan untuk pembibitannya, dan biasanya petani itu dikenai biaya murah, misal kalau beli di toko itu Rp60 ribu, tapi di poktan sekitar Rp20 ribu atau sesuai dengan kesepakatan," katanya.
Pewarta: Hery Sidik
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019
Tags: