Jakarta (ANTARA) - PT Karya Citra Nusantara (KCN) selaku operator pembangunan kawasan Pelabuhan Marunda membantah pihaknya menyetujui renegosiasi kepemilikan saham KCN oleh PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) karena adanya audit dari pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Jadi yang disampaikan pihak KBN tidak utuh, kami menyangkal keras masalah itu," kata Direktur Utama KCN Widodo Setiadi di Pelabuhan Marunda, Sabtu.

Baca juga: Pakar: Perlu dialog KBN-KCN untuk perbaiki kinerja pelabuhan

Baca juga: PT KCN tetap konsisten bangun Pelabuhan Marunda


Dia mengatakan pihaknya sudah memenuhi panggilan dari berbagai instansi untuk pembuktian dan telah memegang rekomendasi dari berbagai instansi pemerintah.

Dia juga menegaskan jika di awal tender tujuannya adalah mencari mitra bisnis di bidang kepelabuhan tanpa menyertakan modal negara.

"Ini kan proyek non APBN/APBD tidak boleh ada uang negara satu rupiah pun," tegasnya.

Widodo menjelaskan awal masalah yang membelit pembangunan Pelabuhan Marunda berawal pada 2012. Saat itu terjadi pergantian manajemen di KBN dan manajemen baru tersebut meminta posisi sebagai pemegang saham mayoritas yang kemudian ditolak KCN.

"Kami menolak. Kenapa? Karena kembali sesuai konsep, kami tidak mau ada aliran uang negara. Kedua, proyek ini belum selesai, sangat mudah dipolitisasi, jadi pada waktu itu kami menolak, karena penolakan itu ditutup lah secara sepihak, itu terjadi 2013," tutur Widodo.

Penutupan akses jalan oleh KBN selama lima bulan tersebut menyebabkan terhentinya kegiatan bongkar muat dan proses pembangunan Pelabuhan Marunda.

"Nach, karena ditutup lima bulan, jaksa pengacara negara atas permintaan KBN turun tangan untuk mediasi. Kalau kita lihat sampai akhir mediasi sampai muncul adendum ketiga menjadi (kepemilikan saham) 50-50 tidak ada isu tentang BPK," tegasnya.

Menurutnya, KBN sebagai mitra KCN sudah seharusnya memberitahukan kepada mitra bisnisnya jika ada proses audit dari pihak berwenang, namun kenyataan KCN baru menerima informasi audit tersebut dua tahun kemudian.

"Kami baru tahu ada audit menurut versi KBN, adalah saat Presiden mau groundbreaking pada Februari 2017. Ada surat KBN kepada Menteri BUMN minta penundaan, disitulah kami tahu ada audit tahun 2014, kita bicara saham sudah dari 2012, kenapa ini baru muncul 2014?" kata Widodo.

Menurutnya proses tersebut harus dibuka ke publik dan dibuktikan, dan KCN harus mendapat akses ke hasil audit tersebut, namun ditolak dengan alasan dokumen tersebut adalah dokumen negara.

Baca juga: F-Maki klaim ada yang lindungi Dirut KBN dalam sengketa Marunda

Baca juga: Ekonom minta pengelolaan Pelabuhan Marunda harus bebas konflik

Baca juga: Jokowi diminta turun tangan selesaikan konflik Pelabuhan Marunda


"Kita berpartner bisinis, karena bisnis ini menyangkut dua pihak, nach itu yang sebenarnya membuat kami sendiri bingung."

Dijelaskan Widodo, setelah pihaknya menyepakati perubahan komposisi saham menjadi 50-50 pihaknya memberi waktu 18 bulan kepada KBN untuk melunasi pembelian saham KCN.

"Tapi kalau bicara 2018, KBN bukan bicara mau beli saham, tapi saya dituduh merampas aset negara. Kita sudah memberi waktu satu setengah tahun tidak bisa bayar. KBN udah setor, lho? Ini kan bisa dicek ke jaksa pengacara negara," ujarnya.

Menurut Widodo, jika memang KBN sudah menyetor dana pembelian saham KCN hal itu tentunya bisa langsung dibuktikan.

Dia juga menyayangkan sikap KBN yang enggan memenuhi undangan KCN untuk mengklarifikasi perkara tersebut meski ada empat perwakilan KBN di dalam PT KCN.

'"Sayangnya kalau acara gini tidak ada yang mau hadir, sebetulnya saya ingin hadir, silakan diwawancara, dibuktikan, ini supaya semua terang benderang. Tapi yang terjadi hari ini adalah kami dianggap sudah merampas aset negara."

"Jadi kalau ada audit isinya apa, ya kita tidak tahu. Apakah ini dianggap sudah setor? Kita bisa buktikan. Karena buat kami jika KBN merasa sudah menyetor dan sudah melaksanakan semua kewajiban kenapa kami digugat? Ini ga masuk akal. itu menurut saya," pungkasnya.