Jakarta, (ANTARA News) - Mantan Duta Besar RI untuk Malaysia, Roesdihardjo menyalahkan bidang imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia tentang pemberlakuan tarif ganda bagi pengurusan dokumen keimigrasian. "Pelaku utamanya adalah semua anggota bidang imigrasi dan pimpinannya," kata Roesdihardjo ketika memaparkan pembelaan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Rabu. Roesdihardjo bersama mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI di Malaysia, Arihken Tarigan menjadi terdakwa dugaan korupsi pemberlakuan tarif ganda pengurusan dokumen keimigrasian bagi warga negara Indonesia di Malaysia. Menurut Roesdihardjo, pemberlakuan tarif ganda yang didasarkan pada Surat Keputusan (SK) 021/SK-DB/0799 terjadi sejak dirinya belum menjadi duta besar. Pemberlakuan tarif ganda, katanya, diterapkan langsung oleh bagian imigrasi yang disetujui oleh sejumlah duta besar yang menjabat sebelum Roesdihardjo. Menurut dia, bagian imigrasi sengaja melakukan penggelembungan tarif dan manipulasi tarif keimigrasian. "Praktik ini hanya diketahui oleh staf imigrasi saja," katanya. Sementara itu, mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Arihken Tarigan mengatakan, kebijakan tarif ganda yang diterapkan oleh bagian imigrasi merupakan perintah duta besar yang diwujudkan dalam SK 021/SK-DB/0799. Arihken diangkat menjadi Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, oleh duta besar Hadi Wayarabi. Sejak diangkat, menurut Arihken, ketentuan tarif ganda itu sudah ada. "Itu kebijakan yang sudah ada sebelum saya jadi kabid imigrasi," katanya. Roesdihardjo dituntut oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dua tahun enam bulan penjara dalam kasus pemberlakuan tarif ganda pengurusan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia. Pada perkara yang sama, tim JPU menuntut Arihken tiga tahun penjara. Roesdihardjo dan Arihken Tarigan sebelumnya didakwa oleh Tim JPU merugikan negara 6,180 juta ringgit Malaysia (RM) atau setara Rp15,45 miliar dalam kasus dugaan korupsi pungutan liar atas pemberlakuan tarif ganda pengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Selama menjabat Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia, Roesdihardjo didakwa setiap bulan menerima 30.000 hingga 40.000 RM atau seluruhnya sebesar 660.000 RM hingga 880.000 RM atau setara Rp1,65 miliar sampai Rp2,2 miliar. Dalam pembelaan, Roesdihardjo tidak menyinggung tentang tuduhan penerimaan uang itu. Sedangkan Arihken dan para pegawai KBRI Kuala Lumpur lainnya didakwa menerima 5,3 juta RM atau setara Rp13,25 miliar. Uang yang diterima Roesdihardjo dan Arihken itu berasal dari pemberlakuan SK Ganda Nomor 021/SK-DB/0799 tanggal 20 Juli 1999 yang memberlakukan tarif yang lebih tinggi dari yang sebenarnya untuk biaya kepengurusan dokumen imigrasi. Tarif yang ditarik dari para WNI yang mengurus dokumen keimigrasian ditentukan lebih tinggi sedangkan yang disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah yang lebih rendah sesuai dengan tarif aslinya. Keduanya dijerat dengan pasal 3 jo 18 jo UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)