Jakarta (ANTARA) - Pengamat pertambangan dari Center For Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUS) menyayangkan rencana pemerintah untuk mempercepat larangan ekspor bijih nikel dari jadwal semula pada 2022 karena seolah-olah tidak memperhatikan kepentingan jangka panjang dan ada kesan mengikuti tekanan kelompok tertentu.

"Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi permasalahan yang dihadapi pengusaha nasional untuk mewujudkan hilirisasi. Kebijakan ini telah gagal pada tenggat waktu yang ditetapkan yakni tahun 2014, 2017 dan 2022 yang juga berpotensi gagal," kata Direktur CIRUS Budi Santoso dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan mempercepat aturan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah yang sebelumnya dipatok tahun 2022. Luhut yakin percepatan batasan larangan ekspor itu seiring dengan pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter) di Tanah Air, sehingga bijih nikel itu bisa diserap pasar domestik.

Menurut Budi Santoso, selama ini ada beberapa kesulitan pengusaha tambang nasional dalam membangun smelter mulai dari perizinan, teknikal (sumberdaya dan cadangan), infrastruktur, keuangan dan pasar yang secara praktik bisnis tidak memungkinkan bisa dicapai hanya dalam kurun waktu 5 tahun.

Pemerintah harus dapat mengurangi atau meringankan beban tersebut atau memberi kelonggaran waktu lebih fleksibel untuk memenuhi rencana sesuai dengan praktik umum kegiatan usaha dan tidak "tertipu" proposal yang hanya di atas kertas.

Ia mengatakan fakta yang dialami pengusaha nasional yang akhirnya menjadi mitra minoritas seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih mendorong peningkatan kapasitas dan kemampuan nasional. "Bukan sebaliknya, hanya karena tujuan pembuatan smelter," tandas Budi.

Dalam praktiknya bijih nikel yang dipasok ke pabrik smelter dibeli dengan harga di bawah harga pasar internasional. Sehingga secara tidak langsung pemilik smelter sudah menikmati keuntungan berlipat yaitu marjin harga dengan pasar internasional dan biaya pengapalan.

Oleh karena itu, lanjut Budi, CIRUS memberi beberapa masukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut dan juga memberi dorongan dan menunjukan keperpihakan kepada pengusaha nasional. Pertama, melakukan evaluasi kegagalan perusahaan nasional membangun pengolahan dan pemurnian dan mengurangi faktor penghambat seperti perizinan, teknikal, infrastruktur, teknologi, keuangan dan pasar.

Kedua, meninjau kembali konsep hilirasi yang mengikat dengan Izin Usaha Pertambangan untuk lebih mendorong ke produk hilirnya atau ke industri. Ketiga, mempercepat ditetapkannya kebijakan mineral dan batubara (minerba) nasional sebelum melakukan perubahan undang-undang ataupun peraturan.

Dan keempat, menjamin smelter yang sudah beroperasi membeli bijih nikel tidak melalui perantara sehingga harga jual dari pemilik tambang kepada smelter mendekati harga pasar internasional.

Pemerintah juga harus mempertimbangkan masalah kegiatan ekonomi regional (daerah) yang masih mengandalkan kegiatan tambang sehingga tidak terjadi keresahan sosial apabila terjadi penghentian produksi karena tidak dapat menjual hasil tambangnya.


Baca juga: Luhut: larangan ekspor bijih nikel dipercepat untuk tarik investasi
Baca juga: Presdir Vale: ekspor bijih nikel mentah berdampak negatif