Artikel
"Menebas" Kungkungan Mitos Silek Tradisi Minangkabau
Oleh Miko Elfisha
29 Agustus 2019 10:51 WIB
Tampuak/Ketua Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah, Irwandi Pandeka Tareh Batimba (memakai peci) bersama Pandeka di Minangkabau dan dari Malaysia di Payakumbuh. (ANTARA SUMBAR/ Miko Elfisha)
Padang (ANTARA) - Silek tradisi Minangkabau di Sumatera Barat semakin hari semakin asing di negeri sendiri. Tidak banyak generasi muda yang masih mau mempelajarinya dengan berbagai alasan.
Padahal Minangkabau sangat kaya dengan aliran silek. Hampir seluruh "nagari" atau desa memiliki aliran silek sendiri sesuai dengan nama daerah di mana silat itu berkembang, atau dari gerakan apa silat itu diadopsi, atau siapa yang merancang gerakan silat tersebut.
Misalnya Aliran Silek Tuo, Silek Kumango, Silek Sitaralak, Silek Sungai Patai, Silek Bayang, Silek Lintau, Silek Pangian, Silek Harimau, Silek Sunua, Silek Luncua, Silek Pakiah Rabun, dan aliran silek yang termasuk masih "muda" yaitu Silek Pauh.
Dahulu, seluruh generasi muda pada masing-masing nagari pasti belajar silek selain sebagai paga diri atau pelindung diri juga sebagai paga nagari (pelindung desa) dari orang luar. Bagi mereka yang ingin merantau ke negeri orang, silek akan menjadi bekal utama.
Namun sekarang, sasaran tempat belajar silek itu sudah semakin lengang. Perlahan-lahan silek tenggelam dalam belantara bela diri yang datang dari luar seperti karate, taekwondo hingga jiu jitsu.
Tampuak/Ketua Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah, Irwandi Pandeka Tareh Batimba mengakui kondisi yang memiriskan itu. Silek tradisi Minangkabau sudah benar-benar berada di ujung tanduk. Tinggal menunggu waktu hingga ia menjadi sejarah, lelap dalam buku-buku dan cerita menjelang tidur.
Baca juga: Hadiah "Seumur Dunia" Silek Art Festival 2019
Tuo-tuo silek di negeri itu, yang telah "masak" pengetahuan dan pemahamannya tentang beladiri tradisi juga sudah semakin jarang ditemui. Di seantero Minangkabau saat ini menurut Pandeka Tareh Batimba, hanya tinggal puluhan orang saja tuo-tuo silek itu yang masih hidup.
Jika mereka dipanggil oleh Sang Pemberi Hidup, maka lenyap pula tempat bertanya jalan "pamutuih kaji" (menamatkan pelajaran). Hilang pula penjaga tradisi turun temurun dari nenek moyang orang Minangkabau itu. Ratusan aliran silek di Minangkabau akan putus turunan.
Ironisnya menurut Pandeka Tareh Batimba, silek tradisi itu malah tumbuh subur di luar negeri. Setidaknya ada 20 ribu orang murid Silek Tradisi Minangkabau di luar negeri. Angka yang mencengangkan mengingat beladiri itu sudah hampir punah di negeri sendiri.
Sebagian dari murid-murid dari luar negeri itu malah menyempatkan diri untuk "pulang" ke Sumbar. Ke Ranah Minang. Mencari tuo silek, mencari jalan untuk memutus kaji menamatkan pelajaran.
Dalam duapuluh atau limapuluh tahun ke depan, mungkin generasi Minangkabau yang "tiba-tiba" timbul kesadaran ingin belajar silek tradisi, harus terbang ke London, Paris atau ke AS, tempat beladiri itu berkembang pesat.
"Alangkah malangnya kita bila itu benar-benar terjadi," kata Tampuak Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah itu. Matanya menerawang langit. Gelap. Segelap masa depan Silek Tradisi Minangkabau yang mengawang-awang di depan mata.
Mitos
Kemunduran Silek Tradisi Minangkabau itu menurut Pandeka Tareh Batimba tidak lepas dari mitos-mitos yang melekat pada beladiri itu. Mitos yang kadang kala datang dari pemahaman yang salah tentang silek.
Mitos pertama, guru Silek Tradisi Minangkabau disebut-sebut tidak mau mengajarkan semua ilmunya kepada anak sasian atau murid-muridnya. Mitos itu memunculkan ungkapan “Nan saganggam di agiahan, nan sabinjek ditinggaan” atau guru mengajarkan seluruh kepandaiannya kecuali ilmu tertinggi kepada murid.
Logikanya, "isi" dari Silek Tradisi Minangkabau itu akan semakin berkurang. Karena pada setiap generasi, guru selalu menyimpan ilmu yang tertinggi. Ibaratnya, jika guru tuo punya ilmu seratus, murid pertamanya hanya akan punya ilmu 90, generasi selanjutnya hanya punya ilmu 70 dan seterusnya. Pada akhirnya, Silek Tradisi Minangkabau itu hanya tinggal kulit, tanpa isi.
Hal itu pula yang melatarbelakangi pandangan bahwa Silek Tradisi Minangkabau saat ini hanya tinggal seni, tanpa isi. Pandangan yang salah itu, tentu saja menjadi dasar penilaian yang salah pula bagi generasi muda saat akan memilih beladiri yang akan dipelajarinya.
Siapa yang mau belajar ilmu bela diri yang tidak ada isinya? Yang tidak akan bisa diandalkan untuk melindungi dirinya?
Namun Tampuak/Ketua Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah, Irwandi Pandeka Tareh Batimba menolak tegas mitos itu. Guru Silek Minangkabau tidak pernah menyembunyikan ilmu dari murid-muridnya. Semua diajarkan baik ilmu silek secara fisik maupun secara batin.
"Saya sudah bertemu beberapa orang tuo silek dan jawabannya sama," kata dia.
Silek secara fisik, guru akan mengajarkan semua yang dipahaminya tentang silek pada anak sasian atau murid. Namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa antara murid-murid itu penyerapan dan pemahaman terhadap ilmu yang diajarkan itu tidak sama. Itu sama saja dengan belajar di sekolah, ada yang pintar dan ada yang lambat dalam belajar.
Sementara secara batin, untuk Silek Tradisi Minangkabau, pencapaiannya bergantung sepenuhnya pada sang murid, bukan guru. Pada taraf itu, guru hanya sebagai penunjuk dan pembuka jalan dengan mengajarkan doa, zikir dan laku yang harus diamalkan.
Setelah semua diamalkan, ilmu itu akan datang dengan sendirinya. Ilmu itu, seberapa banyak, datang dari Allah. Bukan dari guru. Ada murid yang dapat melebihi gurunya, tapi ada juga yang dapatnya hanya sedikit.
Mitos kedua, Silek Minangkabau harus dipelajari malam hari. Jika tidak malam, berarti bukan Silek Tradisi Minangkabau.
Pandeka Tareh Batimba mengakui generasi sebelumnya memang cenderung belajar pada malam hari di rumah guru secara sembunyi-sembunyi. Tetapi, itu hanya sebuah kebiasaan bukan kewajiban.
Menurut dia kebiasaan itu awalnya berasal dari kegunaan silek sebagai pagar diri. Seorang pesilat atau pandeka, tidak mau kemampuannya bisa diukur oleh orang sehingga pergi belajar pada malam hari.
Selain itu guru silek biasanya juga bekerja pada siang hari sehingga hanya bisa mengajar pada malam hari.
Lalu pada saat penjajahan Belanda dan Jepang, masyarakat tidak dibenarkan berkumpul bersama-sama, apalagi belajar bela diri. Karena itu belajar silek dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Ia mengatakan kebiasaan itu sekarang menjadi salah satu kendala yang mengakibatkan generasi muda jadi sulit belajar silek.
Pagi hingga sore anak-anak harus sekolah. Sebagian kemudian melanjutkan dengan mengaji di masjid sehingga waktu untuk belajar silek malam-malam itu sulit dilakukan.
Orang tua juga cenderung melarang kegiatan yang sangat penuh dari pagi hingga malam, takut terlalu membebani anak. Akibatnya bela diri yang kemudian dipilih adalah yang belajar pagi atau sore pada hari libur seperti karate atau taekwondo.
"Sekarang kita dekati tuo-tuo silek agar mau membuka sasaran pada pagi atau sore. Supaya generasi muda mau kembali belajar silek," katanya.
Festival sebagai sebuah upaya pelestarian budaya
Festival menjadi sebuah media untuk memperkenalkan kembali dan seni dan tradisi kepada masyarakat terutama generasi muda sehingga tertarik untuk mengenal lebih dekat dan mempelajarinya.
Tuo-tuo silek dan anak sasiannya diajak untuk ikut serta dalam kegiatan itu. Dengan pengelolaan yang baik, festival akan jadi jembatan pertemuan bagi silek tradisi dan calon penerusnya di zaman milenial.
Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Payakumbuh, Sumbar Elfriza Zaharman menyebut Wali Kota setempat, Riza Falepi memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan seni dan silek tradisi di daerah itu.
Sejak 2017, Pemkot Payakumbuh mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan festival silek untuk mendukung pelestarian budaya daerah. Sejak 2018, alek silek itu dikolaborasikan dengan Silek Art Festival (SAF) yang memiliki tujuan serupa.
SAF merupakan sebuah agenda untuk menggali silek atau silat sebagai suatu fenomena khas etnik Minangkabau. Festival itu juga disandingkan dengan seni pertunjukan yang memiliki semangat yang sama yaitu eksplorasi atas tradisi dan silek.
Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Gemala Ranti menyebut festival itu tidak hanya tampil "di lapangan", tetapi juga akan dibahas dalam seminar. Festival Silek dan seni pertunjukan Itu dilakukan untuk mendorong generasi muda lebih aktif menggali kekayaan budaya.
SAF merupakan kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kebudayaan Sumbar serta sejumlah pihak yang berkaitan dengan pengembangan silat, seni dan budaya di Sumbar dalam platform Indonesia.
Tampuak/Ketua Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah, Irwandi Pandeka Tareh Batimba berharap festival itu bisa digelar setiap tahun sehingga benar-benar benar-benar menjadi kerlip, cahaya di tengah masa depan Silek Tradisi Minangkabau yang kian suram.
Baca juga: Makna di balik pakaian dan gerakan pesilek Minangkabau
Baca juga: Reality-show pencak silat akan manjakan penonton Indonesia
Padahal Minangkabau sangat kaya dengan aliran silek. Hampir seluruh "nagari" atau desa memiliki aliran silek sendiri sesuai dengan nama daerah di mana silat itu berkembang, atau dari gerakan apa silat itu diadopsi, atau siapa yang merancang gerakan silat tersebut.
Misalnya Aliran Silek Tuo, Silek Kumango, Silek Sitaralak, Silek Sungai Patai, Silek Bayang, Silek Lintau, Silek Pangian, Silek Harimau, Silek Sunua, Silek Luncua, Silek Pakiah Rabun, dan aliran silek yang termasuk masih "muda" yaitu Silek Pauh.
Dahulu, seluruh generasi muda pada masing-masing nagari pasti belajar silek selain sebagai paga diri atau pelindung diri juga sebagai paga nagari (pelindung desa) dari orang luar. Bagi mereka yang ingin merantau ke negeri orang, silek akan menjadi bekal utama.
Namun sekarang, sasaran tempat belajar silek itu sudah semakin lengang. Perlahan-lahan silek tenggelam dalam belantara bela diri yang datang dari luar seperti karate, taekwondo hingga jiu jitsu.
Tampuak/Ketua Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah, Irwandi Pandeka Tareh Batimba mengakui kondisi yang memiriskan itu. Silek tradisi Minangkabau sudah benar-benar berada di ujung tanduk. Tinggal menunggu waktu hingga ia menjadi sejarah, lelap dalam buku-buku dan cerita menjelang tidur.
Baca juga: Hadiah "Seumur Dunia" Silek Art Festival 2019
Tuo-tuo silek di negeri itu, yang telah "masak" pengetahuan dan pemahamannya tentang beladiri tradisi juga sudah semakin jarang ditemui. Di seantero Minangkabau saat ini menurut Pandeka Tareh Batimba, hanya tinggal puluhan orang saja tuo-tuo silek itu yang masih hidup.
Jika mereka dipanggil oleh Sang Pemberi Hidup, maka lenyap pula tempat bertanya jalan "pamutuih kaji" (menamatkan pelajaran). Hilang pula penjaga tradisi turun temurun dari nenek moyang orang Minangkabau itu. Ratusan aliran silek di Minangkabau akan putus turunan.
Ironisnya menurut Pandeka Tareh Batimba, silek tradisi itu malah tumbuh subur di luar negeri. Setidaknya ada 20 ribu orang murid Silek Tradisi Minangkabau di luar negeri. Angka yang mencengangkan mengingat beladiri itu sudah hampir punah di negeri sendiri.
Sebagian dari murid-murid dari luar negeri itu malah menyempatkan diri untuk "pulang" ke Sumbar. Ke Ranah Minang. Mencari tuo silek, mencari jalan untuk memutus kaji menamatkan pelajaran.
Dalam duapuluh atau limapuluh tahun ke depan, mungkin generasi Minangkabau yang "tiba-tiba" timbul kesadaran ingin belajar silek tradisi, harus terbang ke London, Paris atau ke AS, tempat beladiri itu berkembang pesat.
"Alangkah malangnya kita bila itu benar-benar terjadi," kata Tampuak Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah itu. Matanya menerawang langit. Gelap. Segelap masa depan Silek Tradisi Minangkabau yang mengawang-awang di depan mata.
Mitos
Kemunduran Silek Tradisi Minangkabau itu menurut Pandeka Tareh Batimba tidak lepas dari mitos-mitos yang melekat pada beladiri itu. Mitos yang kadang kala datang dari pemahaman yang salah tentang silek.
Mitos pertama, guru Silek Tradisi Minangkabau disebut-sebut tidak mau mengajarkan semua ilmunya kepada anak sasian atau murid-muridnya. Mitos itu memunculkan ungkapan “Nan saganggam di agiahan, nan sabinjek ditinggaan” atau guru mengajarkan seluruh kepandaiannya kecuali ilmu tertinggi kepada murid.
Logikanya, "isi" dari Silek Tradisi Minangkabau itu akan semakin berkurang. Karena pada setiap generasi, guru selalu menyimpan ilmu yang tertinggi. Ibaratnya, jika guru tuo punya ilmu seratus, murid pertamanya hanya akan punya ilmu 90, generasi selanjutnya hanya punya ilmu 70 dan seterusnya. Pada akhirnya, Silek Tradisi Minangkabau itu hanya tinggal kulit, tanpa isi.
Hal itu pula yang melatarbelakangi pandangan bahwa Silek Tradisi Minangkabau saat ini hanya tinggal seni, tanpa isi. Pandangan yang salah itu, tentu saja menjadi dasar penilaian yang salah pula bagi generasi muda saat akan memilih beladiri yang akan dipelajarinya.
Siapa yang mau belajar ilmu bela diri yang tidak ada isinya? Yang tidak akan bisa diandalkan untuk melindungi dirinya?
Namun Tampuak/Ketua Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah, Irwandi Pandeka Tareh Batimba menolak tegas mitos itu. Guru Silek Minangkabau tidak pernah menyembunyikan ilmu dari murid-muridnya. Semua diajarkan baik ilmu silek secara fisik maupun secara batin.
"Saya sudah bertemu beberapa orang tuo silek dan jawabannya sama," kata dia.
Silek secara fisik, guru akan mengajarkan semua yang dipahaminya tentang silek pada anak sasian atau murid. Namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa antara murid-murid itu penyerapan dan pemahaman terhadap ilmu yang diajarkan itu tidak sama. Itu sama saja dengan belajar di sekolah, ada yang pintar dan ada yang lambat dalam belajar.
Sementara secara batin, untuk Silek Tradisi Minangkabau, pencapaiannya bergantung sepenuhnya pada sang murid, bukan guru. Pada taraf itu, guru hanya sebagai penunjuk dan pembuka jalan dengan mengajarkan doa, zikir dan laku yang harus diamalkan.
Setelah semua diamalkan, ilmu itu akan datang dengan sendirinya. Ilmu itu, seberapa banyak, datang dari Allah. Bukan dari guru. Ada murid yang dapat melebihi gurunya, tapi ada juga yang dapatnya hanya sedikit.
Mitos kedua, Silek Minangkabau harus dipelajari malam hari. Jika tidak malam, berarti bukan Silek Tradisi Minangkabau.
Pandeka Tareh Batimba mengakui generasi sebelumnya memang cenderung belajar pada malam hari di rumah guru secara sembunyi-sembunyi. Tetapi, itu hanya sebuah kebiasaan bukan kewajiban.
Menurut dia kebiasaan itu awalnya berasal dari kegunaan silek sebagai pagar diri. Seorang pesilat atau pandeka, tidak mau kemampuannya bisa diukur oleh orang sehingga pergi belajar pada malam hari.
Selain itu guru silek biasanya juga bekerja pada siang hari sehingga hanya bisa mengajar pada malam hari.
Lalu pada saat penjajahan Belanda dan Jepang, masyarakat tidak dibenarkan berkumpul bersama-sama, apalagi belajar bela diri. Karena itu belajar silek dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Ia mengatakan kebiasaan itu sekarang menjadi salah satu kendala yang mengakibatkan generasi muda jadi sulit belajar silek.
Pagi hingga sore anak-anak harus sekolah. Sebagian kemudian melanjutkan dengan mengaji di masjid sehingga waktu untuk belajar silek malam-malam itu sulit dilakukan.
Orang tua juga cenderung melarang kegiatan yang sangat penuh dari pagi hingga malam, takut terlalu membebani anak. Akibatnya bela diri yang kemudian dipilih adalah yang belajar pagi atau sore pada hari libur seperti karate atau taekwondo.
"Sekarang kita dekati tuo-tuo silek agar mau membuka sasaran pada pagi atau sore. Supaya generasi muda mau kembali belajar silek," katanya.
Festival sebagai sebuah upaya pelestarian budaya
Festival menjadi sebuah media untuk memperkenalkan kembali dan seni dan tradisi kepada masyarakat terutama generasi muda sehingga tertarik untuk mengenal lebih dekat dan mempelajarinya.
Tuo-tuo silek dan anak sasiannya diajak untuk ikut serta dalam kegiatan itu. Dengan pengelolaan yang baik, festival akan jadi jembatan pertemuan bagi silek tradisi dan calon penerusnya di zaman milenial.
Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Payakumbuh, Sumbar Elfriza Zaharman menyebut Wali Kota setempat, Riza Falepi memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan seni dan silek tradisi di daerah itu.
Sejak 2017, Pemkot Payakumbuh mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan festival silek untuk mendukung pelestarian budaya daerah. Sejak 2018, alek silek itu dikolaborasikan dengan Silek Art Festival (SAF) yang memiliki tujuan serupa.
SAF merupakan sebuah agenda untuk menggali silek atau silat sebagai suatu fenomena khas etnik Minangkabau. Festival itu juga disandingkan dengan seni pertunjukan yang memiliki semangat yang sama yaitu eksplorasi atas tradisi dan silek.
Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Gemala Ranti menyebut festival itu tidak hanya tampil "di lapangan", tetapi juga akan dibahas dalam seminar. Festival Silek dan seni pertunjukan Itu dilakukan untuk mendorong generasi muda lebih aktif menggali kekayaan budaya.
SAF merupakan kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kebudayaan Sumbar serta sejumlah pihak yang berkaitan dengan pengembangan silat, seni dan budaya di Sumbar dalam platform Indonesia.
Tampuak/Ketua Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah, Irwandi Pandeka Tareh Batimba berharap festival itu bisa digelar setiap tahun sehingga benar-benar benar-benar menjadi kerlip, cahaya di tengah masa depan Silek Tradisi Minangkabau yang kian suram.
Baca juga: Makna di balik pakaian dan gerakan pesilek Minangkabau
Baca juga: Reality-show pencak silat akan manjakan penonton Indonesia
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: