Peneliti: Penyerapan beras Bulog terhambat HPP
29 Agustus 2019 10:11 WIB
FILE FOTO: Pekerja menurunkan karung berisi beras kualitas premium dari truk di Gudang Bulog Sub Divisi Regional Serang, Banten, Jumat (2/8/2019). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menyatakan aktivitas penyerapan beras yang dilakukan oleh Bulog masih terhambat oleh harga pembelian pemerintah (HPP) yang dinilai perlu untuk diperbaharui.
"Penyerapan beras Bulog masih terhambat Harga Pokok Penjualan (HPP). Dasar hukum implementasi HPP diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015 yang artinya implementasi HPP sudah berjalan sekitar empat tahun," kata Galuh Octania dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Galuh menilai bahwa pemerintah perlu mengevaluasi besaran HPP dan melihat realitasnya apakah besaran masih sesuai dengan keadaan saat ini atau tidak, serta jalur pendistribusian beras yang dipersempit harus dimaksimalkan oleh Bulog untuk menyediakan beras yang berkualitas baik.
Selain itu, ujar dia, pemaksimalan pendistribusian beras Bulog juga dapat dioptimalkan oleh skema operasi pasar Bulog. Kehadiran Bulog masih sangat diperlukan untuk dapat membantu pemerintah memasok beras bagi konsumen. Pemerintah dan Bulog harus saling bersinergi agar dapat menjaga dan menyalurkan pasokan beras yang memadai baik itu dari segi kualitas maupun kuantitas.
Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso berpendapat bahwa sudah saatnya menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras.
"Melihat situasi sekarang, HPP harusnya sudah naik," kata Sutarto setelah mengisi acara menghadiri acara "Prospek dan tantangan padi hibrida di Indonesia," di Jakarta, Selasa (6/8).
HPP gabah dan beras saat ini masih mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Menurut inpres tersebut, harga pembelian petani untuk gabah kering panen (GKP) dipatok Rp3.700 per kilogram, gabah kering giling (GKG) Rp4.600 per kilogram, dan beras Rp7.300 per kilogram.
Mantan Direktur Umum Perum Bulog ini juga tidak tertarik dengan harga fleksibilitas. Sebab menurut dia, pada prakteknya petani akan ditekan dengan harga Inpres. Dengan kata lain, saat panen harga akan jatuh, sedangkan pada saat petani tidak memiliki barang, harga gabah dan beras akan naik.
Sutarto setuju dengan pembatasan harga beras. Salah satunya adalah dengan memperbaiki Inpres 2015 tersebut. Setelah Inpresnya diperbaiki, pemerintah harus membeli sesuai dengan Inpres tersebut, khusus untuk masyrakat kurang mampu.
Statisnya HPP menurut Sutarto memiliki andil dalam membuat petani sulit mendongkrak kesejahteraannya.
"Sekarang kalau harga beras tetap dipertahankan seperti 2015 padahal UMR (Upah Minimum Regional) naik, kan petaninya tidak mendapatkan nilai tambah. Makanya petani cenderung menjual sawah, makin miskin," ucapnya.
Baca juga: Bulog diminta tingkatkan kualitas serapan beras
Baca juga: Legislator inginkan fungsi Bulog dimaksimalkan serap panen petani
"Penyerapan beras Bulog masih terhambat Harga Pokok Penjualan (HPP). Dasar hukum implementasi HPP diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015 yang artinya implementasi HPP sudah berjalan sekitar empat tahun," kata Galuh Octania dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Galuh menilai bahwa pemerintah perlu mengevaluasi besaran HPP dan melihat realitasnya apakah besaran masih sesuai dengan keadaan saat ini atau tidak, serta jalur pendistribusian beras yang dipersempit harus dimaksimalkan oleh Bulog untuk menyediakan beras yang berkualitas baik.
Selain itu, ujar dia, pemaksimalan pendistribusian beras Bulog juga dapat dioptimalkan oleh skema operasi pasar Bulog. Kehadiran Bulog masih sangat diperlukan untuk dapat membantu pemerintah memasok beras bagi konsumen. Pemerintah dan Bulog harus saling bersinergi agar dapat menjaga dan menyalurkan pasokan beras yang memadai baik itu dari segi kualitas maupun kuantitas.
Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso berpendapat bahwa sudah saatnya menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras.
"Melihat situasi sekarang, HPP harusnya sudah naik," kata Sutarto setelah mengisi acara menghadiri acara "Prospek dan tantangan padi hibrida di Indonesia," di Jakarta, Selasa (6/8).
HPP gabah dan beras saat ini masih mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Menurut inpres tersebut, harga pembelian petani untuk gabah kering panen (GKP) dipatok Rp3.700 per kilogram, gabah kering giling (GKG) Rp4.600 per kilogram, dan beras Rp7.300 per kilogram.
Mantan Direktur Umum Perum Bulog ini juga tidak tertarik dengan harga fleksibilitas. Sebab menurut dia, pada prakteknya petani akan ditekan dengan harga Inpres. Dengan kata lain, saat panen harga akan jatuh, sedangkan pada saat petani tidak memiliki barang, harga gabah dan beras akan naik.
Sutarto setuju dengan pembatasan harga beras. Salah satunya adalah dengan memperbaiki Inpres 2015 tersebut. Setelah Inpresnya diperbaiki, pemerintah harus membeli sesuai dengan Inpres tersebut, khusus untuk masyrakat kurang mampu.
Statisnya HPP menurut Sutarto memiliki andil dalam membuat petani sulit mendongkrak kesejahteraannya.
"Sekarang kalau harga beras tetap dipertahankan seperti 2015 padahal UMR (Upah Minimum Regional) naik, kan petaninya tidak mendapatkan nilai tambah. Makanya petani cenderung menjual sawah, makin miskin," ucapnya.
Baca juga: Bulog diminta tingkatkan kualitas serapan beras
Baca juga: Legislator inginkan fungsi Bulog dimaksimalkan serap panen petani
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019
Tags: