Remaja 16 tahun harus menghidupi ibu dan tiga adiknya
28 Agustus 2019 21:55 WIB
Alfian tinggal di rumah berdinding papan dan beralaskan tanah bekas kandang sapi ini, bersama ibu dan ketiga adiknya. (ANTARA Lampung/Ist)
Lampung Tengah (ANTARA) - Masih ada warga yang hidup di bawah garis kemiskinan di Lampung, seperti dialami Alfian (16), warga Kampung Tanjung Anom, Kecamatan Terusan Nunyai, Kabupaten Lampung Tengah yang terpaksa putus sekolah karena menjadi tulang punggung untuk keluarganya.
Alfian harus menghidupi ibu dan ketiga adik-adiknya, Puput (8), Afika (6), dan Qhaila (2).
Saat teman-teman sebayanya tengah giat untuk menggapai cita-citanya dengan belajar di sekolah, remaja ini justru harus menjadi tulang punggung keluarga.
Sejak ditinggal sang ayah satu tahun silam tanpa pesan yang jelas, Alfian saat ini menjadi tumpuan keluarga untuk bertahan hidup.
Tinggal di rumah berdinding papan dan beralaskan tanah bekas kandang sapi, Alfian mengais rejeki dari upah jasanya sebagai mekanik di salah satu bengkel di desanya.
"Enggak mesti dapat duit, sehari paling dua puluh lima sampai empat puluh ribu rupiah," ujar Alfian, di kediamannya, Rabu.
Sempat terbesit keinginannya untuk melanjutkan sekolah, namun keadaan memaksanya untuk mengurungkan niat itu.
"Kalau liat anak-anak sekolah saya rasanya pingin sekolah lagi. Tapi kalau saya sekolah gimana ibu sama adik-adik," katanya dengan mata berkaca-kaca .
Hal tersedih, lanjut remaja yang mengenyam pendidikan akhir STM (setengah semester) di Magelang ini, saat kedua adiknya Puput dan Afika hendak berangkat ke sekolah. "Sedih kalau adik sekolah enggak ada sangu (uang jajan)," ujarnya lagi.
Namun, lanjut Fian sapaan akrabnya, ia tetap tegar dengan keadaan saat ini. Dalam benaknya saat ini ialah bagaimana adik-adiknya tetap dapat melanjutkan sekolah.
“Harapan saya, adik-adik jangan putus sekolah, saya akan berjuang semampu saya demi keluarga," katanya lagi.
Mistiani (39), sang ibu mengaku untuk membantu putranya, ia pun bekerja serabutan, namun pekerjaan itu tak selalu setiap hari ia dapati.
"Sekarang cuma ngandelin dari anak (Fian), kalau ada kerjaan disuruh tetangga mencuci, nyeterika ya saya kerja, tetapi enggak setiap hari itu ada," katanya.
Hanya dengan mengandalkan penghasilan dari putranya yang pas-pasan, tak jarang keluarga ini harus berpuasa. "Kadang makan kadang tidak, kalau tidak ada (nasi) ya makan singkong," ujarnya lirih
Kepala Kampung Tanjung Anom Wasis Terisno Hadi membenarkan, tempat tinggal keluarga Mistiani adalah bekas kandang sapi. "Tanahnya numpang, kalau bangunan bekas kandang sapi, sudah sekitar satu tahun tinggal di sini," katanya pula.
Sebagai aparatur kampung, lanjutnya, pihaknya sudah berkali-kali mengajukan agar keluarga ini dapat menerima Program Keluarga Harapan (PKH), namun sayang sampai saat ini belum terealisasi. "Sudah kami ajukan, tetapi masih menunggu validasinya, sehingga belum bisa dapat bantuan," ujarnya lagi.
Ke depan, kata Wasis, untuk sedikit meringankan beban keluarga tersebut, ia bakal melakukan bedah rumah milik Mistiani itu. "Langkah ke depan, kami akan bedah rumah dengan cara swadaya," ujar dia pula.
Alfian harus menghidupi ibu dan ketiga adik-adiknya, Puput (8), Afika (6), dan Qhaila (2).
Saat teman-teman sebayanya tengah giat untuk menggapai cita-citanya dengan belajar di sekolah, remaja ini justru harus menjadi tulang punggung keluarga.
Sejak ditinggal sang ayah satu tahun silam tanpa pesan yang jelas, Alfian saat ini menjadi tumpuan keluarga untuk bertahan hidup.
Tinggal di rumah berdinding papan dan beralaskan tanah bekas kandang sapi, Alfian mengais rejeki dari upah jasanya sebagai mekanik di salah satu bengkel di desanya.
"Enggak mesti dapat duit, sehari paling dua puluh lima sampai empat puluh ribu rupiah," ujar Alfian, di kediamannya, Rabu.
Sempat terbesit keinginannya untuk melanjutkan sekolah, namun keadaan memaksanya untuk mengurungkan niat itu.
"Kalau liat anak-anak sekolah saya rasanya pingin sekolah lagi. Tapi kalau saya sekolah gimana ibu sama adik-adik," katanya dengan mata berkaca-kaca .
Hal tersedih, lanjut remaja yang mengenyam pendidikan akhir STM (setengah semester) di Magelang ini, saat kedua adiknya Puput dan Afika hendak berangkat ke sekolah. "Sedih kalau adik sekolah enggak ada sangu (uang jajan)," ujarnya lagi.
Namun, lanjut Fian sapaan akrabnya, ia tetap tegar dengan keadaan saat ini. Dalam benaknya saat ini ialah bagaimana adik-adiknya tetap dapat melanjutkan sekolah.
“Harapan saya, adik-adik jangan putus sekolah, saya akan berjuang semampu saya demi keluarga," katanya lagi.
Mistiani (39), sang ibu mengaku untuk membantu putranya, ia pun bekerja serabutan, namun pekerjaan itu tak selalu setiap hari ia dapati.
"Sekarang cuma ngandelin dari anak (Fian), kalau ada kerjaan disuruh tetangga mencuci, nyeterika ya saya kerja, tetapi enggak setiap hari itu ada," katanya.
Hanya dengan mengandalkan penghasilan dari putranya yang pas-pasan, tak jarang keluarga ini harus berpuasa. "Kadang makan kadang tidak, kalau tidak ada (nasi) ya makan singkong," ujarnya lirih
Kepala Kampung Tanjung Anom Wasis Terisno Hadi membenarkan, tempat tinggal keluarga Mistiani adalah bekas kandang sapi. "Tanahnya numpang, kalau bangunan bekas kandang sapi, sudah sekitar satu tahun tinggal di sini," katanya pula.
Sebagai aparatur kampung, lanjutnya, pihaknya sudah berkali-kali mengajukan agar keluarga ini dapat menerima Program Keluarga Harapan (PKH), namun sayang sampai saat ini belum terealisasi. "Sudah kami ajukan, tetapi masih menunggu validasinya, sehingga belum bisa dapat bantuan," ujarnya lagi.
Ke depan, kata Wasis, untuk sedikit meringankan beban keluarga tersebut, ia bakal melakukan bedah rumah milik Mistiani itu. "Langkah ke depan, kami akan bedah rumah dengan cara swadaya," ujar dia pula.
Pewarta: Budisantoso B & Ardiansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: