Pansel KPK diingatkan dari calon pemimpin tak berintegritas
26 Agustus 2019 14:51 WIB
Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih (tengah) memberikan keterangan terkait hasil profile assessment calon pimpinan KPK periode 2019-2023 dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/8/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.
Jakarta (ANTARA) - Paramadina Public Policy Institute (PPPI) kembali mengingatkan untuk terhindar dari calon pemimpin tak berintegritas, menyusul penetapan 20 nama yang sementara lolos tahap profile assessment oleh Panitia Seleksi Pimpinan KPK, Jumat (23/8).
Direktur Pelaksana Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam dalam keterangan tertulisnya, di Jakrta, Senin, menyebut ada sejumlah nama yang lolos tersebut diidentifikasi memiliki rekam jejak integritas yang bermasalah, sehingga menyampaikan beberapa poin yang perlu diperhatikan Pansel pimpinan KPK.
Pertama, mengingatkan kembali Panitia Seleksi Pimpinan KPK agar lebih profesional, independen dan bebas dari intervensi kepentingan siapa pun.
Menurut dia, lazim diketahui bahwa penentuan posisi pimpinan KPK memiliki implikasi besar terhadap arah kinerja dan strategi pemberantasan korupsi Indonesia ke depan, karena sejumlah kelompok kepentingan berusaha keras untuk meloloskan tokoh tertentu untuk mengamankan kepentingannya.
Baca juga: PBNU percaya integritas Pansel Capim KPK
Ahmad Khoirul mengungkapkan bahwa saat ini sejumlah kekuatan politik membutuhkan taring dan kuku tajam KPK untuk menerkam lawan dan kompetitor politik mereka, penguatan KPK seolah dioptimalkan.
Mekanisme politik dijalankan untuk mendapatkan figur-figur kuat, sangar, agresif dan tak gentar oleh kekuasaan, namun sebaliknya saat KPK dianggap merepotkan bagi kepentingan mereka, figur-figur yang “slow” dan integritasnya dipertanyakan justru berusaha ditempatkan sebagai nahkoda KPK, jelasnya.
Kedua, sebelum memilih 10 nama terakhir yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada 2 September mendatang, Pansel Pimpinan KPK harus benar-benar berkomitmen pada upaya penguatan KPK.
Menurut dia, sejumlah nama dengan rekam jejak yang bersih harus diprioritaskan, sedangkan nama yang rekam jejak integritasnya dipertanyakan harus disingkirkan demi kemaslahatan agenda pemberantasan korupsi ke depan.
Ketiga, masuknya unsur-unsur Polri, Jaksa serta Hakim dalam daftar calon pimpinan KPK tetap layak dipertimbangkan, sebagai upaya penguatan fungsi koordinasi dan supervisi KPK (trigger mechanism) di lembaga-lembaga penegak hukum yang selama ini justru acapkali menjadi “pasien” atau target mesin anti-korupsi KPK.
Namun pansel KPK harus tegas dan berani untuk mencoret nama-nama mereka yang tidak layak secara integritas, tegasnya.
Baca juga: Pansel KPK tanggapi pernyataan KPK soal rekam jejak capim
Dia menyebutkan sejumlah fakta di internal KPK yang menunjukkan adanya relasi tidak produktif dan kompetisi tidak sehat antara pegawai tetap KPK dan pegawai KPK yang diperbantukan (seconded officers) dari Polri dan Kejaksaan merupakan fakta tidak terbantahkan yang harus dijadikan bahan pertimbangan yang matang.
Keempat, katanya, untuk mengawal proses seleksi pimpinan KPK di parlemen, Presiden harus serius menunjukkan keberpihakannya dengan memberikan dukungan politik kepada para calon pimpinan KPK yang lebih independen, profesional dan berintegritas.
Ahmad Khoirul mengatakan kerja pemberantasan korupsi bukan semata-mata kerja penegakan hukum, tetapi juga kerja politik.
Keberpihakan Presiden
Pemberantasan korupsi secara agresif akan selalu memicu lahirnya serangan balik dari kekuatan-kekuatan korup, karena pemberantasan korupsi selalu membutuhkan dukungan dari pimpinan politik tertinggi suatu negara (Quah, 1999).
Keberpihakan Presiden sebagai pemimpin politik tertinggi akan memberikan proteksi dan perlindungan yang memadai bagi lembaga dan aktor-aktor anti-korupsi, baik dalam konteks keselamatan jiwa, kelancaran investigasi, efektivitas pencegahan, hingga pendanaan lembaga anti-korupsi.
Kelima, sebagai pemimpin tertinggi dalam agenda pemberantasan korupsi, Presiden merupakan penentu bagaimana orkestra kinerja anti-korupsi antara KPK, Bappenas, Kemendagri, KemenPAN-RB serta aparat penegak hukum bisa dijalankan.
Jika tidak, katanya, Indonesia akan selalu terjebak dalam fenomena "treadmill effect", yakni segala upaya telah dilakukan, seolah berlari sekuat tenaga, tetapi masih berada di tempat yang sama.
Baca juga: Koalisi kawal capim KPK: Pansel tak dengarkan suara rakyat
Ke depan, pemerintahan Jokowi-Maruf Amin harus benar-benar mampu menjalankan amanat pemberantasan korupsi.
Jangan lagi ada elit politik di lingkaran kekuasaan mengeluarkan “instruksi klise dan bersayap” agar kerja-kerja pemberantasan korupsi tidak memicu instabilitas politik dan mengganggu pembangunan di negeri ini, harap Ahmad Khoirul Umam.
Direktur Pelaksana Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam dalam keterangan tertulisnya, di Jakrta, Senin, menyebut ada sejumlah nama yang lolos tersebut diidentifikasi memiliki rekam jejak integritas yang bermasalah, sehingga menyampaikan beberapa poin yang perlu diperhatikan Pansel pimpinan KPK.
Pertama, mengingatkan kembali Panitia Seleksi Pimpinan KPK agar lebih profesional, independen dan bebas dari intervensi kepentingan siapa pun.
Menurut dia, lazim diketahui bahwa penentuan posisi pimpinan KPK memiliki implikasi besar terhadap arah kinerja dan strategi pemberantasan korupsi Indonesia ke depan, karena sejumlah kelompok kepentingan berusaha keras untuk meloloskan tokoh tertentu untuk mengamankan kepentingannya.
Baca juga: PBNU percaya integritas Pansel Capim KPK
Ahmad Khoirul mengungkapkan bahwa saat ini sejumlah kekuatan politik membutuhkan taring dan kuku tajam KPK untuk menerkam lawan dan kompetitor politik mereka, penguatan KPK seolah dioptimalkan.
Mekanisme politik dijalankan untuk mendapatkan figur-figur kuat, sangar, agresif dan tak gentar oleh kekuasaan, namun sebaliknya saat KPK dianggap merepotkan bagi kepentingan mereka, figur-figur yang “slow” dan integritasnya dipertanyakan justru berusaha ditempatkan sebagai nahkoda KPK, jelasnya.
Kedua, sebelum memilih 10 nama terakhir yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada 2 September mendatang, Pansel Pimpinan KPK harus benar-benar berkomitmen pada upaya penguatan KPK.
Menurut dia, sejumlah nama dengan rekam jejak yang bersih harus diprioritaskan, sedangkan nama yang rekam jejak integritasnya dipertanyakan harus disingkirkan demi kemaslahatan agenda pemberantasan korupsi ke depan.
Ketiga, masuknya unsur-unsur Polri, Jaksa serta Hakim dalam daftar calon pimpinan KPK tetap layak dipertimbangkan, sebagai upaya penguatan fungsi koordinasi dan supervisi KPK (trigger mechanism) di lembaga-lembaga penegak hukum yang selama ini justru acapkali menjadi “pasien” atau target mesin anti-korupsi KPK.
Namun pansel KPK harus tegas dan berani untuk mencoret nama-nama mereka yang tidak layak secara integritas, tegasnya.
Baca juga: Pansel KPK tanggapi pernyataan KPK soal rekam jejak capim
Dia menyebutkan sejumlah fakta di internal KPK yang menunjukkan adanya relasi tidak produktif dan kompetisi tidak sehat antara pegawai tetap KPK dan pegawai KPK yang diperbantukan (seconded officers) dari Polri dan Kejaksaan merupakan fakta tidak terbantahkan yang harus dijadikan bahan pertimbangan yang matang.
Keempat, katanya, untuk mengawal proses seleksi pimpinan KPK di parlemen, Presiden harus serius menunjukkan keberpihakannya dengan memberikan dukungan politik kepada para calon pimpinan KPK yang lebih independen, profesional dan berintegritas.
Ahmad Khoirul mengatakan kerja pemberantasan korupsi bukan semata-mata kerja penegakan hukum, tetapi juga kerja politik.
Keberpihakan Presiden
Pemberantasan korupsi secara agresif akan selalu memicu lahirnya serangan balik dari kekuatan-kekuatan korup, karena pemberantasan korupsi selalu membutuhkan dukungan dari pimpinan politik tertinggi suatu negara (Quah, 1999).
Keberpihakan Presiden sebagai pemimpin politik tertinggi akan memberikan proteksi dan perlindungan yang memadai bagi lembaga dan aktor-aktor anti-korupsi, baik dalam konteks keselamatan jiwa, kelancaran investigasi, efektivitas pencegahan, hingga pendanaan lembaga anti-korupsi.
Kelima, sebagai pemimpin tertinggi dalam agenda pemberantasan korupsi, Presiden merupakan penentu bagaimana orkestra kinerja anti-korupsi antara KPK, Bappenas, Kemendagri, KemenPAN-RB serta aparat penegak hukum bisa dijalankan.
Jika tidak, katanya, Indonesia akan selalu terjebak dalam fenomena "treadmill effect", yakni segala upaya telah dilakukan, seolah berlari sekuat tenaga, tetapi masih berada di tempat yang sama.
Baca juga: Koalisi kawal capim KPK: Pansel tak dengarkan suara rakyat
Ke depan, pemerintahan Jokowi-Maruf Amin harus benar-benar mampu menjalankan amanat pemberantasan korupsi.
Jangan lagi ada elit politik di lingkaran kekuasaan mengeluarkan “instruksi klise dan bersayap” agar kerja-kerja pemberantasan korupsi tidak memicu instabilitas politik dan mengganggu pembangunan di negeri ini, harap Ahmad Khoirul Umam.
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019
Tags: