Kemensos gelar lokakarya nasional shelter dan pemukiman di Mataram
20 Agustus 2019 16:20 WIB
Dari kiri - Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Harry Hikmat, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letjen TNI Doni Monardo, perwakilan IFRC, dan Wakil Gubernur NTB, Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah, bersama-sama memukul kentongan bambu saat membuka lokakarya nasional tentang shelter dan pemukiman di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (20/8/2019). ANTARA/Awaludin
Mataram (ANTARA) - Kementerian Sosial (Kemensos) bersama International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies atau Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) menggelar lokakarya nasional tentang shelter dan pemukiman di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mulai 19-23 Agustus 2019.
Kegiatan tersebut dibuka oleh Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Harry Hikmat, mewakili Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo, dan Wakil Gubernur NTB, Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah, serta perwakilan IFRC, di Mataram, Selasa.
"Kemensos sebagai Koordinator Klaster Pengungsian dan Perlindungan membawahi delapan sub klaster, salah satunya sub klaster shelter. Dalam sub klaster ini salah satu tugasnya adalah mendorong proses pelayanan shelter yang berpusat pada masyarakat," kata Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Harry Hikmat, saat membuka lokakarya.
Ia mengatakan pada setiap kejadian bencana, kebutuhan shelter adalah kebutuhan yang paling besar dan paling mendesak. Namun, demikian menyiapkan shelter bukan sekedar menyiapkan bangunan tempat tinggal baru untuk penyintas.
"Memberikan shelter kepada masyarakat terdampak bencana berarti mendengarkan mereka, mendukung mereka sesuai dengan metode pilihan yang paling tepat bagi setiap keluarga dengan mempertimbangkan kesetaraan gender, pendekatan yang inklusif, serta menghargai suara dari yang tua (lansia) hingga yang muda (anak-anak)," ujarnya.
Baca juga: Penyintas gempa Lombok harapkan percepatan pembangunan rumah
Baca juga: Sejumlah warga korban gempa Lombok masih tinggal di huntara
Dalam proses penyediaan shelter, warga didampingi dalam menyediakan tempat berlindung yang layak dimana setiap orang memiliki pilihan tersendiri untuk pulih dari dampak bencana.
Jadi, shelter tidak hanya mengenai desain dan kualitas material, namun juga memastikan bantuan yang diberikan memberikan keamanan, kenyamanan, bermartabat, dan memuluskan proses transisi.
Harry mengatakan penanganan bencana tidak selalu harus mendirikan posko pengungsian terpusat, lalu mengumpulkan para penyintas ke dalam satu lokasi yang sama.
"Cara pandang seperti ini tidak salah, namun alangkah lebih baik jika kita memberikan kesempatan para penyintas untuk memilih tempat tinggal sementara di rumah sanak saudara atau tetangga yang aman dari bencana," ucapnya pula.
Dalam kesempatan itu, Harry juga memaparkan sub klaster shelter telah melakukan penelitian termasuk pengujian laboratorium yang menunjukkan bahwa puing-puing reruntuhan yang ditemukan di Lombok mengandung asbestos dalam kadar yang membahayakan bagi kesehatan manusia.
"Untuk itu salah satu upaya Kemensos pada lokakarya tersebut adalah meluncurkan Panduan Pengendalian Asbestos dalam Situasi Bencana," katanya.
Hal itu, kata dia, merupakan salah satu capaian di antara banyak hal yang telah dilakukan oleh Sub Klaster Shelter seperti peningkatan kapasitas, mengkoordinasikan sebanyak 260 lembaga di bidang shelter, pembuatan buku panduan shelter untuk kemanusiaan.
"Tentu saja hal ini tidak akan dapat terlaksana tanpa dukungan komitmen yang diberikan oleh International Federation of Red Cross and Red Cressents Societies/ Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (IFRC)," katanya.
Lokakarya nasional Kemensos bersama IFRC membahas dua agenda berskala regional, yakni pertemuan regional untuk Global Shelter Cluster team, dan Asia-Pacific Regional Shelter Practitioners Forum.
Lokakarya dengan tema "Mendukung Masyarakat Bertransisi Secara Aman, Nyaman, Bermartabat, dan Berpusat pada Masyarakat", tersebut digelar dalam rangka memperingati satu tahun gempa Lombok dan peringatan Hari Kemanusiaan Sedunia yang jatuh pada 19 Agustus 2019.*
Baca juga: LSM: Progres rehabilitasi rekonstruksi pascagempa NTB berjalan lambat
Baca juga: PMI bangun "shelter" khusus bagi penyandang disabilitas korban gempa Lombok
Kegiatan tersebut dibuka oleh Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Harry Hikmat, mewakili Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo, dan Wakil Gubernur NTB, Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah, serta perwakilan IFRC, di Mataram, Selasa.
"Kemensos sebagai Koordinator Klaster Pengungsian dan Perlindungan membawahi delapan sub klaster, salah satunya sub klaster shelter. Dalam sub klaster ini salah satu tugasnya adalah mendorong proses pelayanan shelter yang berpusat pada masyarakat," kata Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Harry Hikmat, saat membuka lokakarya.
Ia mengatakan pada setiap kejadian bencana, kebutuhan shelter adalah kebutuhan yang paling besar dan paling mendesak. Namun, demikian menyiapkan shelter bukan sekedar menyiapkan bangunan tempat tinggal baru untuk penyintas.
"Memberikan shelter kepada masyarakat terdampak bencana berarti mendengarkan mereka, mendukung mereka sesuai dengan metode pilihan yang paling tepat bagi setiap keluarga dengan mempertimbangkan kesetaraan gender, pendekatan yang inklusif, serta menghargai suara dari yang tua (lansia) hingga yang muda (anak-anak)," ujarnya.
Baca juga: Penyintas gempa Lombok harapkan percepatan pembangunan rumah
Baca juga: Sejumlah warga korban gempa Lombok masih tinggal di huntara
Dalam proses penyediaan shelter, warga didampingi dalam menyediakan tempat berlindung yang layak dimana setiap orang memiliki pilihan tersendiri untuk pulih dari dampak bencana.
Jadi, shelter tidak hanya mengenai desain dan kualitas material, namun juga memastikan bantuan yang diberikan memberikan keamanan, kenyamanan, bermartabat, dan memuluskan proses transisi.
Harry mengatakan penanganan bencana tidak selalu harus mendirikan posko pengungsian terpusat, lalu mengumpulkan para penyintas ke dalam satu lokasi yang sama.
"Cara pandang seperti ini tidak salah, namun alangkah lebih baik jika kita memberikan kesempatan para penyintas untuk memilih tempat tinggal sementara di rumah sanak saudara atau tetangga yang aman dari bencana," ucapnya pula.
Dalam kesempatan itu, Harry juga memaparkan sub klaster shelter telah melakukan penelitian termasuk pengujian laboratorium yang menunjukkan bahwa puing-puing reruntuhan yang ditemukan di Lombok mengandung asbestos dalam kadar yang membahayakan bagi kesehatan manusia.
"Untuk itu salah satu upaya Kemensos pada lokakarya tersebut adalah meluncurkan Panduan Pengendalian Asbestos dalam Situasi Bencana," katanya.
Hal itu, kata dia, merupakan salah satu capaian di antara banyak hal yang telah dilakukan oleh Sub Klaster Shelter seperti peningkatan kapasitas, mengkoordinasikan sebanyak 260 lembaga di bidang shelter, pembuatan buku panduan shelter untuk kemanusiaan.
"Tentu saja hal ini tidak akan dapat terlaksana tanpa dukungan komitmen yang diberikan oleh International Federation of Red Cross and Red Cressents Societies/ Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (IFRC)," katanya.
Lokakarya nasional Kemensos bersama IFRC membahas dua agenda berskala regional, yakni pertemuan regional untuk Global Shelter Cluster team, dan Asia-Pacific Regional Shelter Practitioners Forum.
Lokakarya dengan tema "Mendukung Masyarakat Bertransisi Secara Aman, Nyaman, Bermartabat, dan Berpusat pada Masyarakat", tersebut digelar dalam rangka memperingati satu tahun gempa Lombok dan peringatan Hari Kemanusiaan Sedunia yang jatuh pada 19 Agustus 2019.*
Baca juga: LSM: Progres rehabilitasi rekonstruksi pascagempa NTB berjalan lambat
Baca juga: PMI bangun "shelter" khusus bagi penyandang disabilitas korban gempa Lombok
Pewarta: Awaludin
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: