Jakarta (ANTARA) - Klub-klub sepak bola Indonesia yang berawal dari perserikatan sempat merasakan madu yang sangat manis saat mereka masih dapat menikmati kucuran dana Anggaran Pendapatan Belanda Daerah (APBD) pada masa silam.

Berbekal suntikan dana, dan dipadu dengan keinginan petinggi klub merangkap kepala daerah di wilayah binaannya, maka kerap kali mereka dapat jor-joran belanja pemain-pemain terbaik dengan tujuan akhir menjadi kampiun.

Hal itu tentu tidak dapat dialami oleh klub-klub yang berasal dari kompetisi Galatama. Klub-klub Galatama, yang salah satu ciri utamanya adalah nama yang lebih kreatif, umumnya didirikan oleh orang-orang "gila bola" di suatu daerah, dan hidup-matinya bergantung pada kucuran dana dari sang petinggi.

Keistimewaan bagi klub-klub yang berasal dari perserikatan kemudian hilang pada 2011. Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi melarang penggunaan APBD untuk membiayai klub-klub sepak bola profesional.

Sejumlah klub seperti mengalami kiamat kecil. Mereka yang terbiasa disuapi dana APBD, sejak saat itu harus berpikir keras untuk mendapatkan pendanaan untuk menjalankan kompetisi rutin. Namun bagi klub yang kreatif, larangan tersebut justru membuat mereka semakin lincah mencari sumber uang lainnya.
Bali United taklukan Semen Padang 4-1 pada kompetisi sepak bola liga 1 Indonesia tahun 2019 di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar. (Antaranews Bali/Komang Suparta/2019)

Operasional semusim
Biaya operasional yang dianggarkan untuk menjalani satu musim kompetisi berbeda-beda bagi setiap klub. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, seperti biaya sewa stadion yang berbeda-beda dan gaji para pemain.

Juara Liga Indonesia musim lalu, Persija dikabarkan menganggarkan lebih dari Rp50 miliar untuk mengarungi musim kompetisi 2019/2020, sedangkan klub besar lainnya Bhayangkara FC diketahui menyiapkan Rp40 miliar untuk pengeluaran musim ini.

Nilai tersebut tentu jauh lebih besar daripada beberapa klub lainnya. Sebagai contoh, klub promosi Semen Padang menyiapkan dana sebesar Rp32 miliar untuk musim ini.

Biaya operasional tersebut digunakan untuk membayar gaji pelatih dan pemain, membayar mess dan lapangan latihan, menyewa stadion untuk pertandingan kandang, dan akomodasi serta transportasi untuk pertandingan-pertandingan tandang.

Sebagai gambaran untuk menyewa Stadion Utama Gelora Bung Karno, Persija harus merogoh kocek sebesar Rp540 juta plus uang jaminan sebesar Rp1,5 miliar. Sementara itu rival Persija, Persib, dikabarkan harus membayar Rp65 juta rupiah untuk satu kali bermain di Stadion Si Jalak Harupat.
Pesepak bola Persib Bandung Ezechiel N'Douassel (kanan) berebut bola di udara dengan pesepak bola Persija Jakarta Ryuji Utomo pada pertandingan Liga 1 2019 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (10/7/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama.


Sumber pendanaan
Secara umum sumber pendanaan klub-klub sepak bola Indonesia adalah dari hak siar televisi, subsidi dari LIB, sponsor, tiket pertandingan, dan merchandise. Namun karena pada beberapa waktu sebelumnya masalah hak siar televisi sempat menimbulkan permasalahan, maka saat ini yang akan dibahas hanya faktor sisanya saja.

subsidi sebesar Rp5 miliar diberikan sama rata kepada seluruh klub peserta Liga 1 2019. Jumlah itu turun Rp2,5 miliar dari tahun lalu, namun meski turun LIB menjamin pencairan subsidi tersebut pada tahun ini tidak akan mengalami masalah.

Pada musim ini perusahaan e-Commerce Shopee menjadi sponsor kompetisi, namun tidak diketahui nilai uang yang mereka investasikan serta nilai yang didapat masing-masing klub.

Oleh karena itu, lebih mudah menghitung pendapatan klub dari sponsor yang melekat di kaus tiap-tiap tim.

Persija misalnya, dengan Indofood, Bank DKI, Rasuna Epicentrum, Kratingdaeng, dan Gojek terpampang di bagian depan kaus mereka, Macan Kemayoran diketahui meraup dana sebesar Rp35 miliar.

Rival Persija, Persib, memiliki lebih banyak sponsor yang menghiasi kostum para pemainnya. Tercatat total terdapat 18 sponsor klub Maung Bandung, seperti Exxonmobil, Indofood, dan Kopi ABC. Sayangnya, tidak terdapat detail atau sekedar gambaran berapa dana yang berhasil dihimpun Persib dari para sponsornya tersebut.
Pedagang kaki lima menata merchandise klub sepakbola Chelsea yang dijual di areal parkir Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7). Pedagang kaki lima itu berjualan tergantung klub mana yang bertanding di GBK. (ANTARA FOTO/Fabianus Riyan Adhitama)

Tiket pertandingan
Sumber pendanaan lain adalah tiket pertandingan. Harga tiket termurah untuk satu pertandingan Liga 1 adalah Rp35.000 (PSM) sampai Rp75.000 (Persija) per pertandingan.

Dengan mengambil Stadion Utama GBK yang berkapasitas 77.193 penonton, maka dalam satu pertandingan Persija akan meraup uang sebesar minimal Rp5.789.475.000 dengan asumsi tiket terjual habis. Jumlah ini tentu tidak dapat selalu tercapai, banyak faktor lain yang juga mempengaruhi animo penonton seperti lawan yang dihadapi atau hari pertandingan.

Salah satu sumber pendanaan lain yang masih belum dimaksimalkan klub adalah penjualan merchandise resmi. Sejumlah klub besar seperti Persib, Persebaya, atau PSM memang sudah lebih jor-joran memancing para penggemarnya untuk membeli merchandise resmi. Sayangnya, upaya mereka kerap menemui jalan terjal dalam bentuk pembajakan.

Klub pendatang baru Bali United bahkan lebih serius memperlakukan bisnis sepak bolanya. Bukan hanya memiliki mega store dengan konsep kekinian yang mampu menarik minat orang-orang non penggemar sepak bola, mereka bahkan bergerak selangkah lebih maju dengan membangun restoran dan kafe untuk nuansa menikmati sepak bola modern.

Bali United bahkan menjadi satu-satunya klub Indonesia yang telah melepas sahamnya ke publik dengan mencatatkan namanya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Juni silam. Langkah ini patut dipertimbangkan klub-klub lain yang jauh lebih tua untuk bisa mendapat suntikan modal bagi keberlangsungan dan transparansi pengelolaan klub.

Baca juga: Penasihat IESPL tekankan pentingnya liga esports nasional
Baca juga: Menteri Desa minta dana desa untuk bangun lapangan bola desa