Manokwari (ANTARA) - Pekan lalu, lembaga penelitian independen, World Resources Institute (WRI) Indonesia, menghelat acara di sebuah hotel di Manokwari bertema “Pentingnya pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan di Tanah Papua”. Acara itu, dimulai dengan cara yang unik.

Empat anak muda Manokwari, mempresentasikan hasil potret pemanfaatan lahan dan hutan untuk berbagai kepentingan. Ada benang merah persoalan yang dapat ditarik dari hasil potret itu. Ada konflik pemanfaatan lahan, setidaknya dalam skala sederhana.

Safwan Ashari Raharusun, seorang reporter muda pada Koran Cahaya Papua, menjadi presenter pembuka. Safwan memotret aktivitas warga di kawasan hutan wisata alam Gunung Meja. Kawasan hutan ini, menjadi penopang utama paru-paru Kota Manokwari, juga daerah resapan air.

Di kawasan itu, ia menemukan tumpukan sampah botol plastik. Jenis sampah yang satu ini, memang paling sulit diurai dan membuat pusing para pemerhati masalah lingkungan. Melalui lensa kamera, Safwan lalu membidiknya sebagai sebuah bukti, betapa warga masih terbelenggu cara berpikir egois, membuang sampah sembarangan.

Pada bagian lain dari pengelanaannya selama beberapa hari di dalam kawasan Hutan Wisata Gunung Meja, ia menemukan warga setempat membuka ladang dengan menebang pohon. Sementara bukti lain, memperlihatkan warga membangun rumah di kawasan hutan.

Problem yang tak jauh berbeda juga ditemukan tiga fotografer lain. Meisye Evelyne Alfian, Mario Nicolas Munthe, dan Yustinus Yumthe. Mesiye membidik antara lain alat berat yang tengah menggerus perbukitan di Kawasan Hutan Lindung Wosi-Rendani. Sudah bisa ditebak, untuk apa penggerusan dinding bukit. Hampir pasti, itu atas nama pembangunan.

Sementara, Mario masuk lebih jauh ke pedalaman Manokwari, untuk membidik aktivitas penebangan hutan secara legal --atas izin pemilik ulayat-- dengan memperlihatkan hasil potret berupa pohon yang ditebang dan hasil olahan dalam bentuk balok berbagai ukuran. Ini, jelas bermotif ekonomi.

Presentasi fotografi ditutup oleh Yustinus Yumthe yang membidik aktivitas warga menambang pasir pantai di Kampung Pami dan Mandopi, Manokwari. Sebagai putra asli Papua Barat, ia berkisah tentang pantai yang semakin tergerus ke arah darat dan ia kemudian menyampaikan keprihatinan, sekaligus kekhawatiran. Apa jadinya, jika terjadi tsunami?

“Sejak kecil saya sudah bermain di pantai ini dan sampai sekarang, saya sudah besar, pantai ini semakin melebar. Saya membayangkan kalau terjadi tsunami, bagaimana dengan nasib masyarakat,” katanya dalam nada penuh khawatir.

Hasil jepretan Safwan, Mario, Meisye, dan Yustinus adalah fakta. Dunia jurnalistik, termasuk foto jurnalistik, mengenal adagium “fakta itu suci”. Menyajikan apa adanya dan tentu tidak berbohong.

Siapakah yang bisa membantah kenyataan bahwa sampah bertebaran dari kota sampai hutan, gunung sampai laut, pohon ditebang saban waktu, pemukiman terus meluas memasuki kawasan hutan, pembukaan lahan baru tak terelakkan, praktik penebangan ilegal dan legal mengancam luasan hutan, alat berat mempermudah manusia melakukan perusakan, kayu jadi komoditas seksi dan masih banyak lagi.

Ya. Bukit, hutan, tanah, pantai, sebagaimana dipotret oleh empat anak muda itu, beserta seluruh ekosistem yang ada, oleh banyak masyarakat dunia menyebutnya sebagai ibu, karena dari sanalah segala sumber kehidupan manusia ada dan berasal. Karena itu, dalam berbagai kisah, banyak negara bangsa menyebut negerinya sebagai Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertiwi.

Bukankah, menebang pohon, membuka hutan, menggerus bukit, menambang pasir, membuang sampah sembarangan, adalah juga melukai sang ibu? Selendang yang membalut sosok ibu robek di mana-mana.

Jika, menganalogikan hutan sebagai kain selendang yang membalut si bunda, gunung dan bukit sebagai dada, pantai sebagai bibir, maka fakta hasil fotografi yang direkam anak-anak muda itu, dengan nyata memperlihatkan kita tengah menyibak dan merobek kain selendang sang ibu, menelanjanginya, melukainya melalui alat berat, dan mencorengkan kotoran di wajahnya dengan sampah.

Ibu Pertiwi dirundung kesedihan dan kadang menggigil, tak jarang meradang. Jangan heran, bencana dalam bentuk banjir bandang, tsunami, tanah longsor, kemarau panjang, penyakit menular, terus merongrong manusia. Itu, karena kita pongah, memperlakukan ibu dengan tak semestinya.

Hasil potret itu, dalam skala sederhana juga dengan jelas memperlihatkan adanya konflik pengelolaan lahan dalam berbagai bentuk dan wajah. Ada argumentasi atas nama pembangunan demi memanusiakan manusia, tetapi juga banyak yang nimbrung dan bersembunyi di balik slogan pembangunan dengan ikhtiar tak baik.

Rumah toko (Ruko) yang tumbuh subur hingga kawasan hutan, resort mewah milik kaum kapitalis yang tengah menumpuk harta dan penebangan liar adalah tiga contoh kecil, betapa banyak pihak masih nimbrung pada slogan pembangunan, dengan mengorbankan peradaban masa yang akan datang, yang diisi oleh manusia generasi baru.

Testimoni empat anak muda yang memotret hutan dan lahan Papua di seputaran Manokwari yang terluka dan telanjang itu, kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Ada Wika Rumbiak dari West Papua Landscape Manager WWF Indonesia, ada Martha Triasih Karafir sebagai research analyst WRI Indonesia, dan mentor fotografi dari Arkademy, Kurniadi Widodo.

Peserta diskusi yang sebagian besar anak-anak Universitas Papua (Unipa) antusias menjadi partisipan. Dari diskusi itulah, terungkap, pemerintah tengah mendesain Kebijakan Satu Peta yang sudah dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.9/2016. Program ini, diikhtiarkan untuk mengatasi konflik pemanfaatan dan kepemilikan lahan di Indonesia serta mendukung konservasi lingkungan.

Menurut Martha Triasih Karafir, dalam konteks Papua Barat sudah ada komitmen yang tertuang dalam Deklarasi Manokwari pada Oktober 2018. Bahkan, pada 2015, pemerintah provinsi telah mendeklarasikan Papua Barat sebagai provinsi konservasi.

Artinya, kebijakan Pemerintah Provinsi Papua Barat berbanding lurus dengan Kebijakan Satu Peta. Hanya, terungkap pula, bahwa proses Satu Peta itu, masih terus berlangsung, meskipun sudah lama dituangkan dalam perpres.

Papua Barat sebagaimana Provinsi Papua, dengan tantangan dan tingkat kerumitan yang sangat khas, harus bisa didekati dengan cara melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga masyarakat adat pemilik ulayat atas lahan dan hutan.

Tentu, rakyat menunggu kepastian akan Kebijakan Satu Peta. Semakin lama menuntaskan Satu Peta sekaligus satu data, semakin memberikan peluang bagi rusaknya alam dan seluruh ekosistem. Memang, sudah banyak peraturan hukum yang menjadi instrumen pelindung, namun kenyataannya, Sang Ibu terus ditelanjangi dan dilukai.

Ingat. Papua menjadi harapan terakhir hutan Indonesia. Di sini, terdapat tutupan hutan primer seluas 34 juta hektare, mengandung cadangan karbon sekitar 16 gigaton CO2 atau setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh lebih dari 4.600 pembangkit listrik tenaga batu bara selama satu tahun.

Karena itu, sebagaimana kata-kata Wika Rumbiak, kebijakan pengelolaan lahan yang lebih adil dan lestari juga harus inklusif dalam melindungi hak-hak semua pemangku kepentingan sebagai pelaku pembangunan. Kebijakan Satu Peta jangan terus menjadi dokumen yang hanya indah di atas kertas. Ia harus diimplementasikan.

Kebijakan Satu Peta memerlukan partisipasi aktif dan inklusif dari masyarakat adat yang juga melibatkan persepsi gender dalam pengelolaan sumber daya alam dan jasa lingkungan. Contohnya, melalui pemetaan partisipatif yang melibatkan masyarakat setempat.

Hasil peta ini, tidak hanya berpotensi meminimalisasi konflik lahan, tetapi merupakan salah satu bentuk dokumentasi masyarakat adat dalam upaya pengakuan eksistensi mereka dalam penataan ruang, dan tentunya termuat dalam kebijakan yang menentukan masa depan Tanah Papua.

Baca juga: Aktivis: Festival Cycloop ajang kampanye lingkungan
Baca juga: Warga Baduy konsisten jaga kelestarian hutan
Baca juga: Pengelola Lore Lindu libat warga untuk jaga kawasan