Oleh Diah Novianti Jakarta (ANTARA News) - Ada suasana lain dari pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah krisis ekonomi yang awalnya muncul di Amerika Serikat (AS) kian melebar dan tanpa ampun turut menggebuki Indonesia. Sejak Februari 2008, Presiden cukup sabar menuturkan sebab musabab terjadinya krisis, yang secara panjang lebar diulanginya dengan suara tenang dalam beberapa kali kesempatan pidato. Mulai macetnya kredit sektor perumahan di AS, melonjaknya harga minyak dunia, dan pencarian alternatif sumber energi terbarukan yang memicu naiknya harga pangan. Presiden dalam pidatonya menekankan Indonesia tidak sendirian menghadapi lonjakan harga-harga yang kian congkak menjauhkan manusia dari kebutuhan dasarnya itu. Saat bertemu dengan beberapa kepala negara lain dalam lawatannya ke luar negeri pada Februari 2008, Presiden Yudhoyono mengatakan, mereka pun menuturkan persoalan yang sama. Dalam beberapa kali pidato, Presiden menyampaikan persoalan yang dihadapi Indonesia adalah akibat pergaulan dunia yang makin mengglobal sehingga jalinan perekonomian Indonesia tak mungkin dilepaskan dari kondisi dunia yang saat ini sedang sakit. Krisis nun jauh di negeri makmur belahan bumi utara, turut membawa angin penderitaan kepada negeri yang sedang tertatih membangun di sebelah tenggara dunia. Tidak ada keluhan keluar dari Presiden. Selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan hanya mengatakan, pemerintah terus bekerja mengatasi krisis, mengutak-ngatik angka-angka asumsi dalam anggaran agar bisa bertahan menghadapi lonjakan harga minyak dunia kian menggila. Harga minyak mentah dunia yang menembus 120 dolar AS per barel memang telah membuat pusing tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Presiden memerintahkan para pembantunya untuk sekuat tenaga menggenjot produktivitas pangan dan melakukan stabilisasi harga. Di lain pihak, ia juga memerintahkan, agar produksi minyak bumi Indonesia dipompa lagi hingga melebihi 1 juta barel per hari. Presiden juga meminta, agar masyarakat bersabar dan turut menyelamatkan anggaran dengan cara berhemat Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Berulang kali Presiden juga mengemukakan, menaikan harga BBM adalah alternatif terakhir, apabila cara penghematan tidak menemui hasil. Terakhir kali Presiden mengatakan hal itu pada acara Milad kesepuluh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada 4 Mei 2008, untuk menanggapi permintaan Presiden PKS, Tifatul Sembiring, agar pemerintah jangan lagi menambah beban rakyat yang sudah tercekik oleh kenaikan harga kebutuhan pokok dengan menaikan harga BBM. Namun, satu hari setelahnya, 5 Mei 2008, Presiden menyatakan bahwa kenaikan harga BBM sudah tidak terhindarkan lagi. Bengkaknya subsidi yang harus ditanggung pemerintah akibat meroketnya harga minyak dunia bisa menjebol anggaran apabila harga BBM tidak dinaikan. Setelah tidak bisa lagi menghindari keputusan menaikan harga BBM, suasana lain itu muncul dalam pidato Presiden. Presiden mulai mengungkapkan sisi gelap sistem kapitalisme dunia dan pincangnya pergaulan globalisasi. Pertama kali, ia menyampaikannya, di hadapan kaum pekerja saat memperingati Hari Buruh Sedunia di Magelang, Jawa Tengah, pada 2 Mei 2008. Yang kedua, pada pidatonya di depan para kepala daerah se-Indonesia dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), di Jakarta, 6 Mei 2008. "Ini sikap yang tidak bermoral. Inilah yang tidak kita sukai, sisi buruk dari globalisasi dan kapitalis global. Harus ada intervensi untuk mencegah penderitaan luas dari bangsa-bangsa di dunia," ujar Presiden. Presiden menuturkan, dari tingginya harga minyak dunia, harga pangan, dan dinamika lain perekonomian, ada negara-negara, perusahaan multinasional, yang mendapatkan keuntungan berlipat ganda, sedangkan sebaliknya ada bangsa yang menderita. Sikap tidak bermoral yang disebut Presiden ditujukan kepada mereka yang meraih keuntungan berlipat ganda, namun tidak terketuk hatinya untuk membantu mereka yang malang tertimpa bencana ekonomi. Untuk menyerukan imbauan moral itu, Presiden telah menyurati Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Presiden Bank Dunia (World Bank/WB) guna mencari jalan keluar bersama dari krisis lonjakan harga yang menyengsarakan negara berkembang, seperti Indonesia. Tidak hanya berhenti pada imbauan moral, Presiden Yudhoyono juga menjanjikan perubahan perjanjian kontrak kerjasama minyak dan gas bumi dengan perusahaan multinasional yang selama ini menggendutkan diri dari kekayaan bumi Indonesia. "Kali ini MNC (Multi-National Coorporation) harus adil. Kita memang hormati kontrak, tapi kontrak baru harus adil, justru kita harus dapat keuntungan lebih besar," kata Kepala Negara. Sebagai Menteri Energi dan Pertambangan (Mentamben) di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Yudhoyono agaknya tahu benar soal ketidakadilan yang diderita Indonesia akibat biaya pengolahan perusahaan multinasional (cost recovery) yang harus ditanggung pemerintah. (*)