Makassar (ANTARA) - Kasubdit Pengawakan Kapal Perikanan, Dit.Kapi- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Muhammad Iqbal menyampaikan pihaknya menargetkan perjanjian kapal laut (PKL) bisa mencapai 50 ribu orang dari seluruh Pelabuhan Perikanan di Indonesia tahun 2019.

"Persentase untuk Indonesia belum bisa kita pastikan namun sebagai upaya awal kita tetap masif melakukan sosialisasi, mudah-mudahan tahun ini PKL bisa mencakup sekitar 50 ribu orang," ungkapnya usai Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia Makassar, Kamis (15/8).

Berdasarkan data KKP, sebanyak 20.894 orang telah mengantongi PKL dari 14 Pelabuhan Perikanan, sementara terdapat 70.345 awak kapal yang telah dilindungi oleh jaminan sosial atau asuransi dari 29 Pelabuhan Perikanan.

Menurut Iqbal, PKL ini akan memberikan perlindungan kerja antara pemilik kapal dengan awak kapalnya untuk kejelasan hak dan kewajiban masing-masing. Sebab prinsip dasar PKL di antaranya ialah kesetaraan hak dan kewajiban serta jaminan hukum dan sosial bagi awak kapal perikanan.

Baca juga: KKP ingatkan regulasi HAM pada usaha perikanan

Awak kapal perikanan yang dimaksud ialah setiap orang yang dipekerjakan di kapal perikanan untuk usaha perikanan tangkap.

Adapun beberapa risiko kerja pada awak kapal seperti jam kerja tidak menentu dan cenderung lama, tidak ada standar jam kerja/jam istrahat, serta musim penangkapan ikan memaksa nelayan harus bekerja terus-menerus. Oleh karena itu, PKL sangat penting bagi setiap awak kapal perikanan.

Perlindungan awak kapal dalam hal PKL meliputi; antara pemilik dengan awak kapal, diperiksa dan disahkan oleh syahbandar, persyaratan Surat Pemberangkatan Berlayar (SPB), meminimalisir risiko kerja dan risiko usaha serta melindungi awak kapal dari eksploitasi.

"Penerbitan PKL ini mencakup SPB yang salah satu persyaratannya ialah asuransi, ketika asuransi tidak ada maka dipastikan SPB tidak akan terbit apalagi PKL nya. Sementara untuk asuransi sebagai jaminan sosial sangat dibutuhkan pekerja perikanan untuk menjamin dirinya selama berada di laut," ungkapnya.

Selain asuransi, adapun hak awak kapal perikanan yakni hak atas gaji, waktu istirahat, cuti, bonus penangkapan, hari libur dan hak untuk berserikat yang masih sangat mini pada pekerja sektor penangkapan ikan.

Padahal, kata Iqbal, dengan berserikat, nelayan ini akan memiliki posisi tawar, power dan eksistensinya semakin diperhitungkan.

Baca juga: KKP serahkan perkara kapal berbendera Panama ke kejaksaan

Berdasarkan hasil inspeksi yang dilakukan pada tahun 2018, didapati keadaan di lapangan bahwa nelayan atau awak kapal tidak pernah dilakukan pemeriksaan kesehatan, upah di bawah Rp1 juta, tidak pernah diikutsertakan dalam program asuransi, kamar ABK masih sempit, serta Alat Pelindung Diri (APD) tidak lengkap.

Hal ini pula yang menjadi alasan sosialisasi peningkatan kesadaran HAM dilaksanakan KKP bekerjasama Organisasi Internasional untuk Migrasi yang telah digelar di empat lokasi termasuk Makassar untuk penyadaran stekholder, pemilik, pengelola, nelayan untuk memenuhi hak pekerja.

"Karena mereka memang tertutup dengan kata profesi nelayan, yang dianggap kecil, padahal ada norma ketenagakerjaan yang berlaku yakni ada pekerjanya dan pemberi kerja," tandasnya.

Baca juga: KPK memanggil enam saksi kasus pengadaan kapal DJBC dan KKP