KPK upayakan hadirkan Paulus Tannos di Indonesia
13 Agustus 2019 20:12 WIB
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengumumkan tersangka baru perkara KTP-elektronik (KTP-el), di Fedung KPK Jakarta, Selasa (13/8/2019). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengupayakan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos yang saat ini bermukim di Singapura dapat kembali ke Indonesia untuk diperiksa.
"Proses-proses dalam penyelidikan untuk PLS (Paulus Tannos) sudah ada, jadi nanti bagaimana di penyidikan kita lihat penyidik pasti bekerja sama dengan otoritas setempat (Singapura) bagaimana bisa menghadirkan yang bersangkutan atau seperti apa cara untuk memberikan keterangan, penyidik sudah punya rencana untuk itu," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Pada hari ini KPK mengumumkan empat tersangka baru perkara korupsi KTP-elektronik (KTP-el), yaitu mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miriam S Hariani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP-el sekaligus PNS Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Husni Fahmi dan Paulus Tannos.
Paulus Tannos diketahui berada di Singapura sejak 2012 lalu, dan sudah berstatus "permanent residence" di negara kota itu. Paulus tinggal di Singapura bersama dengan keluarganya termasuk anaknya Catherine Tannos yang juga punya peran dalam pengadaan KTP-el.
Ia mengaku bersembunyi di Singapura karena dilaporkan ke Mabes Polri atas tuduhan menggelapkan dana chip Surat Izin Mengemudi (SIM), sehingga ia dan Catherine Tannos masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Interpol sejak April 2012.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pernah "menghadirkan" kesaksian Paulus di pengadilan pada 18 Mei 2017 dalam sidang KTP-el untuk terdakwa Irman dan Sugiharto melalui fasilitas "teleconference".
Peran Paulus dalam perkara ini diketahui cukup banyak dalam proyek KTP-el.
"Sebelum proyek KTP-el dimulai pada 2011, tersangka PLS (Paulus Tannos) diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor termasuk dengan tersangka HSF (Husni Fahmi) dan ISE (Isnu Edhi Wijaya) di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Padahal HSF dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang," ujar Saut.
Baca juga: KPK panggil saksi untuk tersangka Markus Nari terkait kasus KTP-elektronik
Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung sekitar 10 bulan dan menghasilkan beberapa output, di antaranya adalah Standard Operating Procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) pada 11 Februari 2011 ditetapkan oleh Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemendagri.
"Tersangka PLS juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem dan tersangka ISE untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen, sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri," ujar Saut pula.
Pembagiannya, PT Sandipala Artha Putra bertanggung jawab memberikan fee kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melalui adiknya Asmin Aulia sebesar 5 persen dari nilai pekerjaan yang diperoleh; PT Quadra Solution bertanggung jawab memberikan fee kepada Setya Novanto sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh; Perum PNRI bertanggung jawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh, dan keuntungan bersih masing-masing anggota konsorsium setelah dipotong pemberian 'fee' tersebut adalah sebesar 10 persen.
Setnov dan politikus Golkar Chairuman Harahap menagih komitmen fee sebagaimana yang telah dijanjikan yakni sebesar 5 persen dari nilai proyek. Atas penagihan tersebut, Andi Agustinus dan Paulus Tannos berjanji untuk segera memenuhinya setelah mendapatkan uang muka pekerjaan dari Kemendagri.
Namun, karena Kemendagri tidak memberikan modal kerja, maka Paulus, Andi Agustinus, dan Johannes Marliem selaku penyedia sistem AFIS L-1. bertemu dengan Setnov dan Setnov pun memperkenalkan orang dekatnya yakni Made Oka Masagung yang akan membantu permodalannya. Sebagai kompensasinya dalam kesempatan itu, juga disepakati "fee" yang akan diberikan kepada Setnov melalui Made Oka.
"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait proyek KTP-el ini," kata Saut.
Baca juga: Anggota DPR Markus Nari segera disidang terkait kasus KTP-e
Dalam korupsi KTP-el, KPK sudah memproses 8 orang, 7 di antaranya sudah divonis bersalah dan 1 orang masih dalam proses persidangan. Tujuh orang tersebut adalah Ketua DPR 2014-2018 Setya Novanto, Plt Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus, pengusaha Made Oka Masagung, Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, dan mantan anggota DPR Markus Nari (dalam proses persidangan).
Selain itu, dalam penanganan perkara ini, KPK juga menemukan adanya upaya menghalang-halangi proses hukum atau kesaksian palsu, sehingga memproses 4 orang dari unsur anggota DPR-RI (Miriam S Hariani dan Markus Nari), advokat (Fredrich Yunadi) dan dokter (Bimanesh Sutarjo).
"Proses-proses dalam penyelidikan untuk PLS (Paulus Tannos) sudah ada, jadi nanti bagaimana di penyidikan kita lihat penyidik pasti bekerja sama dengan otoritas setempat (Singapura) bagaimana bisa menghadirkan yang bersangkutan atau seperti apa cara untuk memberikan keterangan, penyidik sudah punya rencana untuk itu," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Pada hari ini KPK mengumumkan empat tersangka baru perkara korupsi KTP-elektronik (KTP-el), yaitu mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miriam S Hariani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP-el sekaligus PNS Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Husni Fahmi dan Paulus Tannos.
Paulus Tannos diketahui berada di Singapura sejak 2012 lalu, dan sudah berstatus "permanent residence" di negara kota itu. Paulus tinggal di Singapura bersama dengan keluarganya termasuk anaknya Catherine Tannos yang juga punya peran dalam pengadaan KTP-el.
Ia mengaku bersembunyi di Singapura karena dilaporkan ke Mabes Polri atas tuduhan menggelapkan dana chip Surat Izin Mengemudi (SIM), sehingga ia dan Catherine Tannos masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Interpol sejak April 2012.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pernah "menghadirkan" kesaksian Paulus di pengadilan pada 18 Mei 2017 dalam sidang KTP-el untuk terdakwa Irman dan Sugiharto melalui fasilitas "teleconference".
Peran Paulus dalam perkara ini diketahui cukup banyak dalam proyek KTP-el.
"Sebelum proyek KTP-el dimulai pada 2011, tersangka PLS (Paulus Tannos) diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor termasuk dengan tersangka HSF (Husni Fahmi) dan ISE (Isnu Edhi Wijaya) di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Padahal HSF dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang," ujar Saut.
Baca juga: KPK panggil saksi untuk tersangka Markus Nari terkait kasus KTP-elektronik
Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung sekitar 10 bulan dan menghasilkan beberapa output, di antaranya adalah Standard Operating Procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) pada 11 Februari 2011 ditetapkan oleh Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemendagri.
"Tersangka PLS juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem dan tersangka ISE untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen, sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri," ujar Saut pula.
Pembagiannya, PT Sandipala Artha Putra bertanggung jawab memberikan fee kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melalui adiknya Asmin Aulia sebesar 5 persen dari nilai pekerjaan yang diperoleh; PT Quadra Solution bertanggung jawab memberikan fee kepada Setya Novanto sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh; Perum PNRI bertanggung jawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh, dan keuntungan bersih masing-masing anggota konsorsium setelah dipotong pemberian 'fee' tersebut adalah sebesar 10 persen.
Setnov dan politikus Golkar Chairuman Harahap menagih komitmen fee sebagaimana yang telah dijanjikan yakni sebesar 5 persen dari nilai proyek. Atas penagihan tersebut, Andi Agustinus dan Paulus Tannos berjanji untuk segera memenuhinya setelah mendapatkan uang muka pekerjaan dari Kemendagri.
Namun, karena Kemendagri tidak memberikan modal kerja, maka Paulus, Andi Agustinus, dan Johannes Marliem selaku penyedia sistem AFIS L-1. bertemu dengan Setnov dan Setnov pun memperkenalkan orang dekatnya yakni Made Oka Masagung yang akan membantu permodalannya. Sebagai kompensasinya dalam kesempatan itu, juga disepakati "fee" yang akan diberikan kepada Setnov melalui Made Oka.
"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait proyek KTP-el ini," kata Saut.
Baca juga: Anggota DPR Markus Nari segera disidang terkait kasus KTP-e
Dalam korupsi KTP-el, KPK sudah memproses 8 orang, 7 di antaranya sudah divonis bersalah dan 1 orang masih dalam proses persidangan. Tujuh orang tersebut adalah Ketua DPR 2014-2018 Setya Novanto, Plt Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus, pengusaha Made Oka Masagung, Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, dan mantan anggota DPR Markus Nari (dalam proses persidangan).
Selain itu, dalam penanganan perkara ini, KPK juga menemukan adanya upaya menghalang-halangi proses hukum atau kesaksian palsu, sehingga memproses 4 orang dari unsur anggota DPR-RI (Miriam S Hariani dan Markus Nari), advokat (Fredrich Yunadi) dan dokter (Bimanesh Sutarjo).
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019
Tags: