China dinilai tidak terkait dengan problematika fintech Indonesia
13 Agustus 2019 17:33 WIB
Presentasi Otoritas Jasa Keuangan soal ekosistem perusahaan pinjaman daring Teknologi Finansial (Tekfin) saat seminar Financial Technology (Fintech) di Satrio Tower Jakarta Selatan, Selasa (9/7/2019). (Dok. Acara)
Jakarta (ANTARA) - China, baik pemerintahnya maupun perusahaan-perusahaannya,dinilai tidak terkait dengan problematika layanan financial technology di Indonesia, demikian disampaikan Head of Financial Identity and Privacy Working Group AFTECH Ajisatria Suleiman.
"Dari empat tipe fintech yang ada di Indonesia, tipe payday loan dimiliki dan dikelola oleh mayoritas pihak China. Namun tidak ada keterkaitan langsung," kata Ajisatria saat mengisi acara diskusi "Chinese Inventments in Indonesia's Fintech Sector: Their interaction with Indonesia's evolving Regulatory Governance" di Jakarta, Selasa.
Dalam pengkategorian Ajisatria, keempat tipe fintech yang ada di Indonesia adalah Small and Medium Enterprise (SME) atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), microfinance, consumer loans, dan payday loans.
Dari keempat tipe tersebut, Ajisatria menuturkan bahwa tipe payday loans menjadi tipe yang paling bermasalah. Perusahaan fintech tipe payday loans kerap mengenakan bunga yang teramat tinggi (bisa mencapai dua persen per hari), dan mereka kemudian kerap melakukan cara-cara yang tidak patut saat menagih utang dari peminjam seperti dengan mempermalukan atau dengan menghubungi nomor-nomor kontak yang terdapat di telpon genggam milik peminjam.
Payday loans sendiri merupakan sistem peminjaman uang dengan bunga yang relatif tinggi, bahkan bisa mencapai 300 persen setahun. Untuk durasi pengembalian pinjaman, payday loans harus dibayarkan dalam satu waktu, dan terdapat biaya tambahan jika terlambat membayar.
Ciri lain dari payday loans adalah biaya tambahan, di mana peminjam dapat memperpanjang masa pinjam namun harus membayar biaya tersebut. Ciri berikutnya adalah payday loan tidak mempertimbangkan kondisi keuangan peminjam, dan hanya mensyaratkan dokumen-dokumen seperti slip gaji.
Dari berjalannya sistem fintech tersebut di Indonesia, maka muncul masalah-masalah lanjutan di kemudian hari. Tiga permasalahan utama adalah mengenai keamanan data pribadi, etika perusahaan pemberi pinjaman, dan transparansi.
Keamanan data pribadi menjadi masalah karena pemberi pinjaman dapat mengakses banyak hal dari telpon genggam peminjam, bahkan untuk hal-hal yang tidak terkait dengan peminjaman uang. Sementara untuk etika, terdapat sejumlah perusahaan pemberi pinjaman yang mengabaikan hal itu saat melakukan penagihan. Untuk poin transparansi, sejumlah perusahaan pemberi pinjaman uang tidak memberikan keterangan sejelas-jelasnya mengenai utang seorang peminjam atau hal-hal lain terkait transparansi perusahaan.
Selain masalah-masalah dari dalam perusahaan fintech, dalam pandangan Ajisatria, terdapat juga faktor eksternal dari masalah tersebut, seperti soal regulasi.
"Penyebab segmennya bermasalah karena tata kelola regulasi dan tata kelola secara makro belum rapi," ujarnya.
Baca juga: Aftech rencanakan bentuk pedoman penyelenggara fintech
Baca juga: Hati-hati, OJK sebut bisnis pembiayaan berisiko tertinggi di fintech
Baca juga: Fintech bisa kejar target finansial inklusi 75 persen
"Dari empat tipe fintech yang ada di Indonesia, tipe payday loan dimiliki dan dikelola oleh mayoritas pihak China. Namun tidak ada keterkaitan langsung," kata Ajisatria saat mengisi acara diskusi "Chinese Inventments in Indonesia's Fintech Sector: Their interaction with Indonesia's evolving Regulatory Governance" di Jakarta, Selasa.
Dalam pengkategorian Ajisatria, keempat tipe fintech yang ada di Indonesia adalah Small and Medium Enterprise (SME) atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), microfinance, consumer loans, dan payday loans.
Dari keempat tipe tersebut, Ajisatria menuturkan bahwa tipe payday loans menjadi tipe yang paling bermasalah. Perusahaan fintech tipe payday loans kerap mengenakan bunga yang teramat tinggi (bisa mencapai dua persen per hari), dan mereka kemudian kerap melakukan cara-cara yang tidak patut saat menagih utang dari peminjam seperti dengan mempermalukan atau dengan menghubungi nomor-nomor kontak yang terdapat di telpon genggam milik peminjam.
Payday loans sendiri merupakan sistem peminjaman uang dengan bunga yang relatif tinggi, bahkan bisa mencapai 300 persen setahun. Untuk durasi pengembalian pinjaman, payday loans harus dibayarkan dalam satu waktu, dan terdapat biaya tambahan jika terlambat membayar.
Ciri lain dari payday loans adalah biaya tambahan, di mana peminjam dapat memperpanjang masa pinjam namun harus membayar biaya tersebut. Ciri berikutnya adalah payday loan tidak mempertimbangkan kondisi keuangan peminjam, dan hanya mensyaratkan dokumen-dokumen seperti slip gaji.
Dari berjalannya sistem fintech tersebut di Indonesia, maka muncul masalah-masalah lanjutan di kemudian hari. Tiga permasalahan utama adalah mengenai keamanan data pribadi, etika perusahaan pemberi pinjaman, dan transparansi.
Keamanan data pribadi menjadi masalah karena pemberi pinjaman dapat mengakses banyak hal dari telpon genggam peminjam, bahkan untuk hal-hal yang tidak terkait dengan peminjaman uang. Sementara untuk etika, terdapat sejumlah perusahaan pemberi pinjaman yang mengabaikan hal itu saat melakukan penagihan. Untuk poin transparansi, sejumlah perusahaan pemberi pinjaman uang tidak memberikan keterangan sejelas-jelasnya mengenai utang seorang peminjam atau hal-hal lain terkait transparansi perusahaan.
Selain masalah-masalah dari dalam perusahaan fintech, dalam pandangan Ajisatria, terdapat juga faktor eksternal dari masalah tersebut, seperti soal regulasi.
"Penyebab segmennya bermasalah karena tata kelola regulasi dan tata kelola secara makro belum rapi," ujarnya.
Baca juga: Aftech rencanakan bentuk pedoman penyelenggara fintech
Baca juga: Hati-hati, OJK sebut bisnis pembiayaan berisiko tertinggi di fintech
Baca juga: Fintech bisa kejar target finansial inklusi 75 persen
Pewarta: A Rauf Andar Adipati
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: