INDEF: Jaga stabilitas harga agar pertumbuhan ekonomi meningkat
12 Agustus 2019 20:22 WIB
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus di Jakarta, Senin (12/8/2019). (ANTARA/AstridFaidlatulHabibah)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengatakan bahwa pemerintah harus bisa menjaga stabilitas harga karena itu merupakan salah satu kunci dari upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Heri menuturkan, adanya perang dagang yang bisa berpengaruh terhadap perlambatan ekonomi dunia dan berimbas pada Indonesia, berupa permintaan barang yang berkurang atau ekspor menurun akan mengakibatkan investor enggan masuk dan investasi pasti melambat.
Namun, sebenarnya kondisi ekonomi Indonesia masih diuntungkan dengan adanya dominasi dari sisi faktor domestik yaitu konsumsi rumah tangga yang mencapai sekitar 80 persen, sedangkan faktor internal seperti ekspor, impor, dan investasi hanya berkontribusi sebanyak 20 persen.
“Kalau harga pada naik kita tidak mampu mengonsumsi, tapi jika harga stabil maka kita akan terus belanja dan konsumsi. Ya itulah kekuatan ekonomi yang saat ini kita punya,” katanya saat dihubungi oleh ANTARA, di Jakarta, Senin.
Heri menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara terbuka namun tidak terlalu bergantung pada asing sehingga jika terdapat krisis global akan paling belakang terkena dampaknya, namun juga akan paling terakhir mendapat percikan manfaat dan keuntungan ketika terdapat peluang bagus di dunia.
Hal tersebut berbeda dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia karena ketergantungan pada keterbukaan perdagangannya mencapai dua kali lipat sehingga jika tidak ada keterbukaan perdagangan maka mereka tidak bisa bertahan.
“Jadi begitu tidak ada perdagangan maka Malaysia dan Vietnam akan hancur karena mereka sangat bergantung pada keterbukaan perdagangan,” katanya.
Ia melanjutkan pada 2008 juga terdapat resesi global sehingga mengakibatkan ekonomi dunia anjlok, sedangkan Indonesia masih bisa naik 4,8 persen karena faktor domestik berupa daya beli dan konsumsi masyarakat masih tinggi.
“Kan hebat di saat hampir semua negara sedang krisis ekonomi, tapi saat itu kita meningkat sendiri ya karena faktor domestik kita masih kuat,“ ujarnya.
Hal tersebut menurut Heri masih bisa terulang pada 2019, meskipun pada kenyataannya saat 2008 kondisi ekonomi eksternal masih baik dan tidak defisit neraca perdagangan secara total, sedangkan tahun ini perekonomian Indonesia mengalami defisit serta untuk mencapai surplus sangat susah.
Namun, pemerintah masih bisa memanfaatkan peluang utama yang ada yaitu jumlah masyarakat Indonesia yang merupakan terbanyak ke empat di dunia, ditambah dengan upaya menjaga kestabilan harga sehingga faktor domestik berupa konsumsi rumah tangga itu masih bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi.
“Kondisi itu bisa iya bisa tidak, tergantung pemerintah melakukan upaya pencegahan supaya tidak terjadi. Masyarakat kita terbanyak di dunia ke empat maka itu menjadi kekuatan ekonomi kita,” ujarnya.
Baca juga: Pertumbuhan ekonomi 2019 diprediksi lebih baik dari 2014
Baca juga: Potensi ekspor hortikultura luar biasa, bakal dongkrak pertumbuhan
Heri menuturkan, adanya perang dagang yang bisa berpengaruh terhadap perlambatan ekonomi dunia dan berimbas pada Indonesia, berupa permintaan barang yang berkurang atau ekspor menurun akan mengakibatkan investor enggan masuk dan investasi pasti melambat.
Namun, sebenarnya kondisi ekonomi Indonesia masih diuntungkan dengan adanya dominasi dari sisi faktor domestik yaitu konsumsi rumah tangga yang mencapai sekitar 80 persen, sedangkan faktor internal seperti ekspor, impor, dan investasi hanya berkontribusi sebanyak 20 persen.
“Kalau harga pada naik kita tidak mampu mengonsumsi, tapi jika harga stabil maka kita akan terus belanja dan konsumsi. Ya itulah kekuatan ekonomi yang saat ini kita punya,” katanya saat dihubungi oleh ANTARA, di Jakarta, Senin.
Heri menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara terbuka namun tidak terlalu bergantung pada asing sehingga jika terdapat krisis global akan paling belakang terkena dampaknya, namun juga akan paling terakhir mendapat percikan manfaat dan keuntungan ketika terdapat peluang bagus di dunia.
Hal tersebut berbeda dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia karena ketergantungan pada keterbukaan perdagangannya mencapai dua kali lipat sehingga jika tidak ada keterbukaan perdagangan maka mereka tidak bisa bertahan.
“Jadi begitu tidak ada perdagangan maka Malaysia dan Vietnam akan hancur karena mereka sangat bergantung pada keterbukaan perdagangan,” katanya.
Ia melanjutkan pada 2008 juga terdapat resesi global sehingga mengakibatkan ekonomi dunia anjlok, sedangkan Indonesia masih bisa naik 4,8 persen karena faktor domestik berupa daya beli dan konsumsi masyarakat masih tinggi.
“Kan hebat di saat hampir semua negara sedang krisis ekonomi, tapi saat itu kita meningkat sendiri ya karena faktor domestik kita masih kuat,“ ujarnya.
Hal tersebut menurut Heri masih bisa terulang pada 2019, meskipun pada kenyataannya saat 2008 kondisi ekonomi eksternal masih baik dan tidak defisit neraca perdagangan secara total, sedangkan tahun ini perekonomian Indonesia mengalami defisit serta untuk mencapai surplus sangat susah.
Namun, pemerintah masih bisa memanfaatkan peluang utama yang ada yaitu jumlah masyarakat Indonesia yang merupakan terbanyak ke empat di dunia, ditambah dengan upaya menjaga kestabilan harga sehingga faktor domestik berupa konsumsi rumah tangga itu masih bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi.
“Kondisi itu bisa iya bisa tidak, tergantung pemerintah melakukan upaya pencegahan supaya tidak terjadi. Masyarakat kita terbanyak di dunia ke empat maka itu menjadi kekuatan ekonomi kita,” ujarnya.
Baca juga: Pertumbuhan ekonomi 2019 diprediksi lebih baik dari 2014
Baca juga: Potensi ekspor hortikultura luar biasa, bakal dongkrak pertumbuhan
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019
Tags: