Jakarta (ANTARA) - Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengakui gejolak ekonomi global imbas perang dagang yang tak berkesudahan antara Amerika Serikat dengan China telah menekan pertumbuhan investasi Indonesia selama kuartal II 2019 yang juga menjadi kerikil tajam untuk laju pertumbuhan ekonomi domestik.

Indikator investasi yang terlihat dari Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) di paruh kedua tahun ini tercatat hanya tumbuh 5,01 persen secara tahunan (year on year/yoy) atau lebih rendah ketimbang pertumbuhan di periode sama tahun lalu yang sebesar 5,85 persen (yoy).

Bahkan jika mengupas pertumbuhan investasi itu, aliran investasi swasta non-bangunan hanya tumbuh 3,07 persen, sedangkanya sisanya adalah investasi bangunan karena masifnya pembangunan infrastruktur.

"Kemarin hanya tumbuh 3,07 persen. Jika dengan investasi bangunan jadi 5,01 persen. Itu jadi tantangan kita bagaimana memulihkan yang 'private'," kata Dody di Gedung BI, Jakarta, Senin.

Dody mengatakan melambatnya pertumbuhan investasi Indonesia karena permintaan global yang ikut melemah akibat gejolak ekonomi dunia. Selain perang dagang antara AS dan China, tekanan ekonomi global juga datang dari ketegangan hubungan dagang Jepang dan Korea Selatan, serta penurunan harga komoditas.

Oleh karena rentetan tekanan ekonomi global itu, ekspansi kinerja ekspor terhambat. Lesunya ekspor di Indoensia akhirnya meurunkan produksi dan menyurutkan minat investor global untuk berinvestasi. Namun, masalah ini tidak hanya diderita Indonesia, namun juga sebagian besar negara-negara berkembang dan negara maju.

"Tidak hanya di Indonesia,(ini) masalah di semua negara berkembang yang terkena dampak perang dagang, dampak voltalitas di pasar keuangan, serta melambatnya turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di ekspor," kata Dody.

Perlambatan ekspor yang juga menekan produksi dan investasi turut juga mengambat pendapatan devisa ekspor. Padahal devisa ekspor menjadi salah satu sumber ketahanan stabilitas eksternal, pun juga untuk sumber pembiayaan ekonomi.

"Kondisi ini menurunkan pendapatan yang berakhir kepada konsumsi yang tidak akan setinggi dari yang diperkirakan," ucap dia.

Perkuat Manufaktur

Permintaan domestik juga mengalami hal serupa karena kondisinya tak bisa lepas terhadap ekspor. Maka itu, Dody mengingatkan, dampak lanjutan dari perang dagang harus segera diantisipasi. Hal itu bisa diantisipasi dengan memperkuat sektor industri manufaktur unggulan, di antaranya tekstil, otomotif, dan alas kaki, agar ekspor volume dan nilai ekspor Indonesia meningkat.

Namun, kata Dody, tidak mudah mengembangkan industri manufaktur yang lebih kuat pada masa depan terutama untuk menopang ekspor. Setidaknya dibutuhkan kompeten sumber daya domestik yang kuat.

“Perusahaan manufaktur di Indonesia menemukan berbagai kendala dalam melakukan bisnis, mulai dari infrastruktur, tenaga kerja hingga regulasi,” ucapnya.

Oleh karena itu, diperlukan strategi dalam pengembangan industri manufaktur dengan berfokus pada industri-industri prioritas. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

"Sejak 2015 pemerintah telah menerapkan 16 paket reformasi. Paket-paket ini bertujuan secara luas untuk menghilangkan hambatan dalam melakukan bisnis, mendorong ekspor dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Inisiatif ini fokus pada semua sektor dan industri, termasuk sektor manufaktur," katanya.

Baca juga: BI lakukan intervensi untuk stabilkan rupiah yang mendekati Rp14.000/dolar AS

Baca juga: Perang dagang memanas, modal asing masuk RI capai Rp179,6 triliun