Jakarta (ANTARA) - Danu Satya Nugraha, siswa kelas 12 SMA Saka Bakti Husada Batam, menyebutkan dua tanaman yang sudah diabadikan dengan kamera di telepon genggamnya, saat mengikuti “jungle tracking” di Taman Wisata Alam Muka Kuning, Kota Batam, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.

“Ada pohon pisang, ada pandan besar,” kata Danu saat ditemui di puncak peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2019 yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di TWA Muka Kuning.

“Kita foto tumbuhan pakai Google Lens. Tapi enggak bisa muncul informasinya, soalnya signalnya jelek.” lanjutnya.

Teknologi pengenalan gambar yang dikembangkan Google tersebut ternyata tidak berfungsi, karena jaringan telekomunikasi tidak berhasil menembus sebagian hutan lindung yang berada di tengah Pulau Batam tersebut.

Alhasil, anak-anak sekolah yang mengikuti “jungle tracking” tidak mulus mengenal berbagai jenis tumbuhan yang ada di dalam hutan seluas 2.065,62 hektare (ha) tersebut dari gawai mereka.

Ada sekitar 100 anak memilih ikut “jungle tracking” melintasi jalur sepanjang 5,7 kilometer (km), dari Desa Trembesi Bengkel menembus hutan hingga ke “camping ground” TWA Muka Kuning. Danu, pemilik tubuh tambun yang mengaku sebelumnya juga sudah pernah menembus hutan lindung tersebut berhasil melewati track kurang dari tiga jam.

Camping Ground Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau. (ANTARA/Virna P Setyorini)

Bagi para pecinta alam dan pendaki, lanskap TWA Muka Kuning mungkin tidak ekstrim seperti hutan-hutan lebat lainnya di Indonesia. Namun bagi mereka yang bertubuh tambun, tetap saja membutuhkan tenaga ekstra untuk melintasinya.

Sepanjang jalur tracking tidak terlihat pohon-pohon dengan diameter besar di dalam hutan khas hutan tropis. Meski demikian di beberapa bagian tutupan hutannya begitu rapat, sehingga sinar matahari sulit menembus permukaan tanahnya.

Suara burung gagak sempat terdengar di pucuk pepohonan, sarang lebah tergantung di dahan pohon sangat dekat dengan jalur tracking, serangga-serangga kecil bergerak di antara daun-daun kering yang menumpuk di lantai hutan.

Telaga Bidadari di tengah-tengah TWA Muka Kuning menjadi tempat peserta “jungle tracking” beristirahat sejenak setelah berjalan hampir selama dua jam. Sayangnya air terjun di sana hilang karena sungai di tengah hutan tersebut kering, tidak lagi mengalir di musim kemarau ini.

Meski demikian pemandangan alam di tengah TWA Muka Kuning tetap indah. Hutan di tengah-tengah Kota Batam ini menyuguhkan nuansa berbeda di antara bangunan pabrik dan kepadatan permukiman.



Bibit konservasionis

Guru geografi di MAN Insan Cendekia Reza (28) yang juga merupakan pembina santri pecinta alam di sekolah tersebut mengatakan di tengah penyebaran media sosial yang masih ada, walaupun sedikit, anak-anak yang peduli pada kegiatan alam seperti ini.

Sebagai pembina, menurut dia, perlu lebih berusaha keras mencari bibit-bibit konservasionis ini. “Kita lihat bibit-bibit anak yang senang pada alam itu yang lebih kita bina,” katanya.

Caranya dengan membuat mereka paham dan sadar dari hal-hal terdekat. Contohnya apa yang mereka minum dan oksigen yang mereka hirup berasal dari hutan-hutan yang terjaga.

“Kita mulai dari lingkungan sekolah dulu. Lalu tidak perlu selalu di dalam ruang, tetapi juga di lapangan sehingga ilmunya lebih melekat,” ujar dia.

Kondisi alam yang indah, menurut dia, menjadi salah satu cara untuk membuat anak-anak milenial ini mau dekat dengan alam.

Reza juga mengatakan pemerintah perlu memberikan kurikulum yang menerapkan konservasi. Tidak perlu menunggu anak menjadi dewasa, tetapi bisa dimulai sejak dari bangku sekolah dasar.

Camping Ground Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau. (ANTARA/Virna P Setyorini)

Cara-cara milenial

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno mengajak para milenial berperan lebih besar dalam mendukung upaya konservasi sumber daya alam di Indonesia.

Milenial itu sebenarnya punya peran penting untuk konservasi. Mereka bisa mendukung konservasi dengan melakukan praktik wisata alam yang bertanggung jawab, baik itu di gunung, pantai dan dalam laut.

Wiratno juga mengatakan milenial juga bisa mendukung konservasi hanya dengan memanfaatkan media sosial yang menjadi salah satu tempat diseminasi konservasi alam yang efektif.

Bahkan mereka juga bisa berperan serta mengungkap kejahatan-kejahatan terhadap satwa dan tumbuhan liar, seperti mengungkap bullying satwa, mengungkap jual beli satwa liar.

Berkat teknologi informasi dan telekomunikasi pula, menurut Wiratno, kepedulian milenial terhadap isu konservasi juga meningkat. Di antara mereka bahkan ada yang menjadi relawan membuat sumur bor sebagai fasilitas pembasahan gambut di Kalimantan Tengah.

Atau, menjadi dokter hewan yang mengobati harimau sumatra yang terkena jerat, membantu merawat gajah, membantu merawat orangutan yang terkena tembakan.

“Mereka bekerja dalam kesenyapan, tapi hasilnya luar biasa,” ujar Wiratno.

Setidaknya 400 anak mengikuti Jambore Alam Nasional di TWA Muka Kuning, Batam. “Jungle tracking” hanya satu dari berbagai kegiatan yang dikerjakan para milenial yang masih duduk di bangku sekolah ini dalam rangkaian perayaan HKAN 2019 yang sengaja mengangkat tema Spirit Konservasi Alam Millennial.

Camping Ground Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau. (ANTARA/Virna P Setyorini)
Baca juga: Ibu Negara lepasliarkan elang bondol di Hari Konservasi Alam Nasional
Baca juga: Taman Wisata Alam Muka Kuning dirancang untuk gaet wisman