Jakarta (ANTARA News) - Kurs rupiah, Senin sore, melemah hingga mencapai Rp9.240/9.250 per dolar AS dibanding dengan penutupan akhir pekan lalu Rp9.223/9.225 atau turun 17 poin, karena pelaku masih memburu dolar AS. Direktur Retail Banking PT Bank Mega Tbk, Kostaman Thayib, di Jakarta, Senin, mengatakan perburuan dolar AS oleh pelaku lokal, karena mereka khawatir dengan gejolak harga minyak mentah dunia yang terus menguat. Harga minyak mentah dunia yang mendekati angka 120 dolar AS per barel diperkirakan akan bisa mencapai 140 dolar AS pada akhir tahun ini, katanya. Menurut dia, kenaikan harga minyak mentah itu karena berbagai faktor yang membuat harganya terus bergerak naik antara lain, aksi buruh yang terjadi di Skotlandia diperkirakan akan menekan produksi minyak mentahnya. Selain itu negara-negara pengekspor minyak mentah (OPEC) merasa enggan meningkatkan produksi dalam upaya memenuhi permintaan pasar yang meningkat, ucapnya. Karena itu, lanjut dia, rupiah akan terus mendapat tekanan pasar internasional, sekalipun bank sentral AS (The Fed) pada akhir bulan ini akan menurunkan suku bunganya. Namun penurunan suku bunga acuan Fed fund diperkirakan tidak besar, karena The Fed diminta tidak terlalu agresif dalam menurunkan suku bunganya, katanya. Pada pertemuan akhir bulan ini, The Fed diperkirakan hanya akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi dua persen dari sebelumnya 2,25 persen, tambahnya. Rupiah, lanjut dia, masih akan terpuruk hingga mendekati angka Rp9.300 per dolar AS, karena tekanan negatif pasar masih tetap tinggi, meski tingkat suku bunga rupiah masih menggiurkan pelaku asing untuk tetap bermain di pasar domestik. Apabila investor asing tidak menempatkan dananya di pasar domestik, kemungkinan besar rupiah sudah terpuruk tajam jauh di atas angka Rp9.400 per dolar AS, ujarnya. Rupiah juga masih mendapat dukungan dari Bank Indonesia (BI) yang masih bermain di pasar untuk menjaga agar mata uang Indonesia itu tidak terpuruk lebih jauh, ucapnya. Selain itu juga, lanjut dia, rupiah masih mendapat dukungan dari membaiknya pasar saham regional seperti indeks Nikkei Jepang untuk pertama kali mencapai 14.000 poin atau naik 1 persen. Namun semua faktor positif bagi rupiah tidak mampu menghilangkan kekhawatiran pelaku pasar yang terus membeli dolar AS, katanya. (*)