Permodalan bagi hasil tingkatkan kapasitas peternak gurem
9 Agustus 2019 20:28 WIB
Direktur Eksekutif Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono saat ditemui usai diskusi Wajah Gurem Peternakan Rakyat di Jakarta, Jumat (9/8/2019). (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Penguatan permodalan melalui skema pembiayaan bagi hasil penting untuk meningkatkan kapasitas peternak gurem dan buruh ternak karena cocok dengan karakteristik usaha mereka yang dipandang sulit diakomodasi pembiayaan konvensional.
"Secara menarik, kearifan lokal di banyak daerah menunjukkan bahwa sistem bagi hasil adalah skema pembiayaan peternakan yang paling sesuai dan karenanya banyak diadopsi," ujar Direktur Eksekutif IDEAS, Yusuf Wibisono di Jakarta, Jumat.
Pada 2013, sekitar 1,9 juta rumah tangga usaha peternakan (RTUP) mempraktikkan sistem bagi hasil. RTUP yang sepenuhnya bergantung pada sistem bagi hasil mencapai 13,5 persen. Persentase tertinggi ditemui di Gorontalo, Sumatera Barat, Sulawesi Barat, Aceh, Bali, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.
Yusuf mengatakan skema bagi hasil yang lebih populer menunjukkan bukti bahwa pembiayaan model perbankan konvensional tidak cocok dengan peternakan.
"Pertama, peternaknya juga sudah tidak capable, belum mengajukan juga sudah ditolak," ujar Yusuf.
Ada kalanya juga peternak sudah diterima tapi tidak cocok dengan skema pembiayaan model perbankan konvensional itu. Salah satunya dikarenakan arus kas peternak yang tidak reguler setiap bulan sehingga kesulitan di dalam pelunasan.
"Pendapatannya peternak bisa setahun, dua tahun sekali. Kalau hutang di bank kan bulan pertama sudah langsung ditagih. Jadi tidak cocok," ujar Yusuf.
Oleh karena itu, menurut IDEAS peternakan rakyat condong lebih cocok dengan bagi hasil karena mengakomodir tingkat risiko yang tinggi apalagi jika terjadi kegagalan.
Kedua, IDEAS juga mendorong inisiatif menggunakan dana-dana sosial untuk menopang peternak skala kecil yang masih rentan bisnisnya karena masih fluktuatif.
"Itu dibantu dengan dana-dana sosial yang tidak 'komersial' seperti perbankan. Selama peternakan belum mendapatkan akses ke permodalan, mereka tidak bisa capable untuk perbankan," ujar Yusuf.
"Secara menarik, kearifan lokal di banyak daerah menunjukkan bahwa sistem bagi hasil adalah skema pembiayaan peternakan yang paling sesuai dan karenanya banyak diadopsi," ujar Direktur Eksekutif IDEAS, Yusuf Wibisono di Jakarta, Jumat.
Pada 2013, sekitar 1,9 juta rumah tangga usaha peternakan (RTUP) mempraktikkan sistem bagi hasil. RTUP yang sepenuhnya bergantung pada sistem bagi hasil mencapai 13,5 persen. Persentase tertinggi ditemui di Gorontalo, Sumatera Barat, Sulawesi Barat, Aceh, Bali, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.
Yusuf mengatakan skema bagi hasil yang lebih populer menunjukkan bukti bahwa pembiayaan model perbankan konvensional tidak cocok dengan peternakan.
"Pertama, peternaknya juga sudah tidak capable, belum mengajukan juga sudah ditolak," ujar Yusuf.
Ada kalanya juga peternak sudah diterima tapi tidak cocok dengan skema pembiayaan model perbankan konvensional itu. Salah satunya dikarenakan arus kas peternak yang tidak reguler setiap bulan sehingga kesulitan di dalam pelunasan.
"Pendapatannya peternak bisa setahun, dua tahun sekali. Kalau hutang di bank kan bulan pertama sudah langsung ditagih. Jadi tidak cocok," ujar Yusuf.
Oleh karena itu, menurut IDEAS peternakan rakyat condong lebih cocok dengan bagi hasil karena mengakomodir tingkat risiko yang tinggi apalagi jika terjadi kegagalan.
Kedua, IDEAS juga mendorong inisiatif menggunakan dana-dana sosial untuk menopang peternak skala kecil yang masih rentan bisnisnya karena masih fluktuatif.
"Itu dibantu dengan dana-dana sosial yang tidak 'komersial' seperti perbankan. Selama peternakan belum mendapatkan akses ke permodalan, mereka tidak bisa capable untuk perbankan," ujar Yusuf.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: