Artikel
Kemandirian pangan, NTP dan kemiskinan di Kalimantan Barat
Oleh Dedi
9 Agustus 2019 16:40 WIB
Gubernur Kalbar, Sutarmijdi (kanan tengah) bersalaman dengan Kadistan TPH Kalbar usai kegiatan Pertemuan Koordinasi Upsus 2019 di Pontianak, Jumat (9/8/2019). (ANTARA/Dedi)
Pontianak (ANTARA) - Persoalan pangan terutama komoditas beras dan upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pokok tersebut terus menjadi sorotan. Berbagai kebijakan pemerintah baik pusat hingga daerah terus digencarkan.
Upaya -upaya yang dilakukan agar Nilai Tukar Petani (NTP) terus meningkat dan angka kemiskinan bisa ditekan serta lainnya melalui kemandirian pangan agaknya harus melibatkan berbagai pihak agar bisa memberikan perbaikan yang signifikan bagi kemajuan daerah.
Kalimantan Barat saat ini dalam hal jumlah produksi padi atau beras secara nasional berada di posisi ke-13. Pada 2018 lalu produksi padi di Kalbar pada 2018 mencapai 1,62 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) dari luasan tanam sebanyak 600 ribuan hektare yang tersebar di 14 kabupaten atau kota yang ada di Kalimantan Barat.
Pada tahun 2019, Kementerian Pertanian RI menargetkan produksi padi Gabah Kering Giling (GKG) tidak jauh beda dengan pencapaian tahun lalu yakni sebanyak 1,6 juta ton.
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distan TPH) Kalbar, Heronimus Hero, menyebutkan untuk mencapai target yang ada tentu butuh usaha keras dan strategi agar target terealisasi. Dengan target yang harus terealisasi, kemandirian pangan terutama komoditas utama yakni padi diharapkan bisa mendorong kemajuan di berbagai sektor lainnya.
Hingga Agustus 2019 ini produksi padi di Kalbar hampir mencapai 1 juta ton. Meski hampir mencapai 1 juta ton produksi tersebut masih di bawah target yang seharusnya. Hal itu karena satu di antaranya faktor Luas Tambah Tanam (LTT) yang belum mencapai target.
"Dari sisi LTT hingga September 2019 sejumlah 400 ribu hektare harus ditanam atau dikejar. Itu menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Dinas pertanian di daerah harus menganalisa kenapa dan mengapa, serta harus dicarikan solusinya," ujar Heronimus Hero di Pontianak.
Menurutnya selain dengan upaya realisasi LTT dengan maksimal, upaya peningkatan produktivitas juga dimaksimalkan dengan intensifikasi budidaya padi.
"Jadi, bukan hanya dari luas saja kita maksimalkan, namun intensifikasinya juga dimaksimalkan. Produktivitas harus dikejar agar target produksi bisa tercapai. Tantangan tentu ada, terutama berkaitan juga dengan cuaca yang mulai kering saat ini. Namun, semua harus dicarikan solusinya. Bisa dengan menambah bantuan untuk memaksimalkan target yang ada," katanya.
Harus intensifikasi
Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menyoroti pentingnya intensifikasi pertanian. Ia mendorong Dinas Pertanian berfikir untuk intensifikasi dan bukan hanya perluasan tanaman. Hal itu dilakukan agar hasil dan efektivitas dalam budidaya akan memberikan dampak yang luas, baik untuk swasambada pangan padi dan menekan kemiskinan.
Menurutnya, jika hanya berkutat pada perluasan maka inovasi dan terobosan dalam bidang pertanian terutama padi akan sulit maju untuk menjadikan petani sejahtera.
Pertanian padi yang mengandalkan perluasan tanaman tanpa upaya khusus atau intensifikasi hanya sekedar membuka lahan dan memupuk, tanpa perawatan maka hasilnya tidak akan maksimal.
Hal itu terbukti, produktivitas pertanian di Kalimantan Barat saat ini hanya di kisaran 2,6 ton – 2,8 hektare per ton. Dengan hasil tersebut menunjukkan produktivitas yang rendah. Kemudian hal itu juga menunjukkan kinerja dan sentuhan penyuluh pertanian tidak nampak.
“Di mana hasil penyuluh kalau produktivitas hanya begitu-begitu saja. Tidak ada perubahan dan peningkatan. Penyuluh yang tidak mau bekerja, copot saja. Percuma dan masih banyak yang mau bekerja,” kata dia.
Sutarmijdi juga menyoroti pentingnya data yang akurat dan riil di lapangan. Ia mendorong dinas pertanian serius soal data karena berkaitan dengan ketepatan program dalam menjawab persoalan dan memenuhi kebutuhan yang ada.
“Sampai kiamat pun, persoalan pertanian atau pangan tidak akan selesai kalau data tidak jelas. Pihak dinas memakai data ini dan itu. Yang jelas saya memegang data dari BPS. Jangan bermain dengan angka atau data yang tidak jelas,” kata dia.
Data yang tidak jelas tentu juga berpengaruh pada jumlah pupuk yang disalurkan, benih yang diperbantukan dan lainnya. Jika hal itu tidak benar dan tidak semestinya maka tentu bermasalah. Sehingga persoalan data harus diperhatikan.
Sutarmijdi mencontohkan soal luas tanam padi di Kalbar yakni dari data statistik hanya 214 ribu hektar saja. Pada sisi lain dari dinas ada 600 ribuan hektare.
Saat ini kebutuhan beras di Kalbar hanya 540 ribu ton beras untuk dikonsumsi masyarakat dan sekitar 100 ribu ton untuk industri pengolahan. Dibandingkan dengan produksi GKG yang mencapai 1,6 juta ton atau setara kurang lebih 1 juta tonan beras maka Kalimantan Barat sudah surplus.
Namun, dilihat dari sisi NTP dan kemiskinan, surplus tersebut tidak berkorelasi. Bahkan untuk NTP petani di Kalbar masih di bawah 100 poin. Kemudian untuk tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat sendiri, komoditas beras masih andil paling besar di daerah ini. “Saya ingin data harus sudah jelas. Yang riil dimaksimalkan. Intensifikasi harus dilakukan. NTP masih rendah dan kemiskinan dari beras masih tinggi,” kata dia.
Dengan persoalan yang ada, dia mendorong dengan tegas dinas pertanian untuk benar-benar melakukan program yang nyata dan bisa membuktikan bahwa Kalimantan Barat bisa mandiri pangan terutama beras.
“Saya menargetkan dalam 1-2 tahun ke depan, Kalimantan Barat bisa mandiri pangan dan lumbung padi di Kalimantan. Tidak ada lagi beras luar masuk di sini. Bila perlu saya larang beras luar masuk,” kata dia.
NTP dan kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat merilis pada Juli 2019 masih di bawah 100 poin yakni hanya 93,60 poin. Bahkan Juli dibandingkan Juni 2019, turun sebesar 0,44 persen. Hal ini disebabkan indeks harga yang diterima petani turun 0,58 persen, sedangkan Indeks harga yang dibayar petani turun 0,14 persen.
Khusus untuk NTP tanaman padi dan palawija sendiri di Juli 2019 sebesar 93,46 poin, naik 0,19 persen dibanding Juni 2019. “Jika NTP di bawah 100 poin berarti petani masih belum sejahtera. Petani lebih besar membayar daripada dari yang diterima,” kata Kepala BPS Kalimantan Barat, Pitono.
Sementara untuk jumlah penduduk miskin di Kalbar pada Maret 2019 sebanyak 378,41 ribu orang atau 7,49 persen dari total jumlah penduduk di daerah itu.
Angka tersebut naik dibanding September 2018 dimana lonjakan tertinggi penduduk miskin Kalbar ada di kawasan perdesaan.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 4,58 persen naik menjadi 4,60 persen pada Maret 2019. Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan pada September 2018 sebesar 8,84 persen naik menjadi 9,05 persen pada Maret 2019.
Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan pada Maret 2018 tercatat sebesar 77,71 persen.
Tiga jenis komoditi makanan yang berpengaruh paling besar terhadap nilai garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan adalah beras. Peranan komoditas beras menyumbang terhadap garis kemiskinan di perkotaan Kalbar sebesar 20,46 persen dan di pedesaan sebesar 29,29 persen.
Dilihat dari perbandingan antar provinsi di Pulau Kalimantan, maka Kalimantan Barat berada posisi pertama dengan jumlah penduduk miskin tertinggi dari lima provinsi lainnya. Untuk tingkat ketimpangan atau gini rasio Kalbar pada Maret 2019 sebesar 0,327.*
Baca juga: Dubes Kanada : Kalbar berpotensi jadi daerah ketahanan pangan tangguh
Baca juga: BPS: rokok filter pengaruhi garis kemiskinan di Kalbar
Upaya -upaya yang dilakukan agar Nilai Tukar Petani (NTP) terus meningkat dan angka kemiskinan bisa ditekan serta lainnya melalui kemandirian pangan agaknya harus melibatkan berbagai pihak agar bisa memberikan perbaikan yang signifikan bagi kemajuan daerah.
Kalimantan Barat saat ini dalam hal jumlah produksi padi atau beras secara nasional berada di posisi ke-13. Pada 2018 lalu produksi padi di Kalbar pada 2018 mencapai 1,62 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) dari luasan tanam sebanyak 600 ribuan hektare yang tersebar di 14 kabupaten atau kota yang ada di Kalimantan Barat.
Pada tahun 2019, Kementerian Pertanian RI menargetkan produksi padi Gabah Kering Giling (GKG) tidak jauh beda dengan pencapaian tahun lalu yakni sebanyak 1,6 juta ton.
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distan TPH) Kalbar, Heronimus Hero, menyebutkan untuk mencapai target yang ada tentu butuh usaha keras dan strategi agar target terealisasi. Dengan target yang harus terealisasi, kemandirian pangan terutama komoditas utama yakni padi diharapkan bisa mendorong kemajuan di berbagai sektor lainnya.
Hingga Agustus 2019 ini produksi padi di Kalbar hampir mencapai 1 juta ton. Meski hampir mencapai 1 juta ton produksi tersebut masih di bawah target yang seharusnya. Hal itu karena satu di antaranya faktor Luas Tambah Tanam (LTT) yang belum mencapai target.
"Dari sisi LTT hingga September 2019 sejumlah 400 ribu hektare harus ditanam atau dikejar. Itu menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Dinas pertanian di daerah harus menganalisa kenapa dan mengapa, serta harus dicarikan solusinya," ujar Heronimus Hero di Pontianak.
Menurutnya selain dengan upaya realisasi LTT dengan maksimal, upaya peningkatan produktivitas juga dimaksimalkan dengan intensifikasi budidaya padi.
"Jadi, bukan hanya dari luas saja kita maksimalkan, namun intensifikasinya juga dimaksimalkan. Produktivitas harus dikejar agar target produksi bisa tercapai. Tantangan tentu ada, terutama berkaitan juga dengan cuaca yang mulai kering saat ini. Namun, semua harus dicarikan solusinya. Bisa dengan menambah bantuan untuk memaksimalkan target yang ada," katanya.
Harus intensifikasi
Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menyoroti pentingnya intensifikasi pertanian. Ia mendorong Dinas Pertanian berfikir untuk intensifikasi dan bukan hanya perluasan tanaman. Hal itu dilakukan agar hasil dan efektivitas dalam budidaya akan memberikan dampak yang luas, baik untuk swasambada pangan padi dan menekan kemiskinan.
Menurutnya, jika hanya berkutat pada perluasan maka inovasi dan terobosan dalam bidang pertanian terutama padi akan sulit maju untuk menjadikan petani sejahtera.
Pertanian padi yang mengandalkan perluasan tanaman tanpa upaya khusus atau intensifikasi hanya sekedar membuka lahan dan memupuk, tanpa perawatan maka hasilnya tidak akan maksimal.
Hal itu terbukti, produktivitas pertanian di Kalimantan Barat saat ini hanya di kisaran 2,6 ton – 2,8 hektare per ton. Dengan hasil tersebut menunjukkan produktivitas yang rendah. Kemudian hal itu juga menunjukkan kinerja dan sentuhan penyuluh pertanian tidak nampak.
“Di mana hasil penyuluh kalau produktivitas hanya begitu-begitu saja. Tidak ada perubahan dan peningkatan. Penyuluh yang tidak mau bekerja, copot saja. Percuma dan masih banyak yang mau bekerja,” kata dia.
Sutarmijdi juga menyoroti pentingnya data yang akurat dan riil di lapangan. Ia mendorong dinas pertanian serius soal data karena berkaitan dengan ketepatan program dalam menjawab persoalan dan memenuhi kebutuhan yang ada.
“Sampai kiamat pun, persoalan pertanian atau pangan tidak akan selesai kalau data tidak jelas. Pihak dinas memakai data ini dan itu. Yang jelas saya memegang data dari BPS. Jangan bermain dengan angka atau data yang tidak jelas,” kata dia.
Data yang tidak jelas tentu juga berpengaruh pada jumlah pupuk yang disalurkan, benih yang diperbantukan dan lainnya. Jika hal itu tidak benar dan tidak semestinya maka tentu bermasalah. Sehingga persoalan data harus diperhatikan.
Sutarmijdi mencontohkan soal luas tanam padi di Kalbar yakni dari data statistik hanya 214 ribu hektar saja. Pada sisi lain dari dinas ada 600 ribuan hektare.
Saat ini kebutuhan beras di Kalbar hanya 540 ribu ton beras untuk dikonsumsi masyarakat dan sekitar 100 ribu ton untuk industri pengolahan. Dibandingkan dengan produksi GKG yang mencapai 1,6 juta ton atau setara kurang lebih 1 juta tonan beras maka Kalimantan Barat sudah surplus.
Namun, dilihat dari sisi NTP dan kemiskinan, surplus tersebut tidak berkorelasi. Bahkan untuk NTP petani di Kalbar masih di bawah 100 poin. Kemudian untuk tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat sendiri, komoditas beras masih andil paling besar di daerah ini. “Saya ingin data harus sudah jelas. Yang riil dimaksimalkan. Intensifikasi harus dilakukan. NTP masih rendah dan kemiskinan dari beras masih tinggi,” kata dia.
Dengan persoalan yang ada, dia mendorong dengan tegas dinas pertanian untuk benar-benar melakukan program yang nyata dan bisa membuktikan bahwa Kalimantan Barat bisa mandiri pangan terutama beras.
“Saya menargetkan dalam 1-2 tahun ke depan, Kalimantan Barat bisa mandiri pangan dan lumbung padi di Kalimantan. Tidak ada lagi beras luar masuk di sini. Bila perlu saya larang beras luar masuk,” kata dia.
NTP dan kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat merilis pada Juli 2019 masih di bawah 100 poin yakni hanya 93,60 poin. Bahkan Juli dibandingkan Juni 2019, turun sebesar 0,44 persen. Hal ini disebabkan indeks harga yang diterima petani turun 0,58 persen, sedangkan Indeks harga yang dibayar petani turun 0,14 persen.
Khusus untuk NTP tanaman padi dan palawija sendiri di Juli 2019 sebesar 93,46 poin, naik 0,19 persen dibanding Juni 2019. “Jika NTP di bawah 100 poin berarti petani masih belum sejahtera. Petani lebih besar membayar daripada dari yang diterima,” kata Kepala BPS Kalimantan Barat, Pitono.
Sementara untuk jumlah penduduk miskin di Kalbar pada Maret 2019 sebanyak 378,41 ribu orang atau 7,49 persen dari total jumlah penduduk di daerah itu.
Angka tersebut naik dibanding September 2018 dimana lonjakan tertinggi penduduk miskin Kalbar ada di kawasan perdesaan.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 4,58 persen naik menjadi 4,60 persen pada Maret 2019. Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan pada September 2018 sebesar 8,84 persen naik menjadi 9,05 persen pada Maret 2019.
Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan pada Maret 2018 tercatat sebesar 77,71 persen.
Tiga jenis komoditi makanan yang berpengaruh paling besar terhadap nilai garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan adalah beras. Peranan komoditas beras menyumbang terhadap garis kemiskinan di perkotaan Kalbar sebesar 20,46 persen dan di pedesaan sebesar 29,29 persen.
Dilihat dari perbandingan antar provinsi di Pulau Kalimantan, maka Kalimantan Barat berada posisi pertama dengan jumlah penduduk miskin tertinggi dari lima provinsi lainnya. Untuk tingkat ketimpangan atau gini rasio Kalbar pada Maret 2019 sebesar 0,327.*
Baca juga: Dubes Kanada : Kalbar berpotensi jadi daerah ketahanan pangan tangguh
Baca juga: BPS: rokok filter pengaruhi garis kemiskinan di Kalbar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: