Jakarta (ANTARA News) - Jelang HUT ke-71 TNI AU pada Minggu 9 April 2017, kami mewawancarai  Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang dilantik  menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Udara pada Januari 2017.  

Profil Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia termasuk perairan seluas lebih dari  3,25 juta kilometer persegi dan ruang udara nasional lebih dari 5, 18 juta kilometer persegi menjadi perhatian utama Marsekal Hadi Tjahjanto. 

Baca juga: (TNI AU unjuk kekuatan pada peringatan HUT)

Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) pada 2015-2016 itu pun berkomitmen menjadikan TNI Angkatan Udara lebih besar, profesional dan mumpuni untuk menjaga wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak saja kedaulatan udara, tetapi juga di darat dan laut.

Berikut petikan wawancara dengan KSAU dengan latar pesawat tempur, dan pesawat latih TNI Angkatan Udara yang tergelar di Terminal Selatan Pangkalan Udara Utama TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusumah.

Antara:
Memasuki usia ke 71 Tahun, bagaimana arah pembangunan kekuatan TNI Angkatan Udara?

KSAU:
Kekuatan TNI Angkatan Udara utamanya dibangun untuk mendukung visi pembangunan yang kini sedang giat dilaksanakan yakni Poros Maritim Dunia (PMD). PMD diterjemahkan dengan pembangunan infrastruktur berupa pelabuhan dan dermaga atau tol laut dan bandara-bandara mulai daerah pinggiran atau tol udara. Nah kekuatan TNI Angkatan Udara dibangun untuk mengamankan pelaksanaan pembangunan tersebut, untuk pelaksanaan visi PMD. Karena bagaimana pun PMD adalah domain yang tidak terlepas pula dari peran TNI Angkatan Udara.

Langkah nyatanya seperti apa, dan apa tantangannya?

Antara lain dengan menempatkan sejumlah pesawat-pesawat kita atau gelar operasi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara lain seperti Ranai, Tarakan dan Morotai. Tantanganya, saya harus membuat pesawat-pesawat saya memiliki keunggulan untuk mengumpulkan informasi, memiliki kemampuan ISR (Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance). Dengan begitu, kita dapat memiliki data yang lengkap dan komprehensif, sehingga Kementerian Pertahanan, Panglima TNI, dan angkatan mampu mengambil keputusan yang tepat, efektif, untuk menyikapi pontensi ancaman yang ada. Dengan kata lain pengamanan pun akan maksimal.

Semisal, untuk menyikapi China yang mengklaim sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang bersinggungan dengan ZEE kita.

Selain gelaran pesawat-pesawat di wilayah ZEE, apalagi yang akan dilakukan TNI Angkatan Udara untuk memaksimalkan pengamanan kedaulatan udara?

Ketika saya dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Udara pada Januari silam, yang menjadi fokus utama adalah skadron-skadron intai maritim. Saya telaah bagaimana kemampuannya, dan apa yang harus diperbaiki. Dan saat ini kami sedang membanguna sistem survailance pada pesawat Boeing intai maritim kami. Dan pada bulan ini pula kami akan uji coba, mulai dengan terbang dari Makassar ke Tarakan (ALKI II) dan Ranai (ALKI I). Uji coba dimaksudkan untuk memastikan kemampuannya mendeteksi kapal-kapal yang masuk dan melintas di perairan Indonesia. Apakah kapal-kapal itu legal atau tidak.

Kami juga akan tingkatkan kapal patroli maritim itu dengan kamera web dan sistem yang lebih canggih. Saya juga sedang coba mewujudkan sistem jaringan pengintaian terpadu, sehingga benar-benar dapat memantau kegiatan di darat dan udara. Tahap awal saya akan tempatkan satuan-satuan penginderaan seperti di Ranai dan Tarakan, dengan peralatan tanpa awak.

Peralatan tanpa awak itu mampu terbang pada ketinggian minimum, dengan jarak 250 kilometer hingga 2.000 kilometer jika didukung satelit. Itu semua dalam rangka membangun keunggulan informasi.

Anda menyampaikan Kekuatan Pokok Minimum TNI Angkatan Udara saat ini tercatat 40 persen. Sudahkah cukup memadai untuk mengamankan kedaulatan NKRI dan visi PMD?

Yang paling penting adalah dukungan anggaran perawatan. Karena kalau pesawat kita didukung anggaran untuk 100 persen kesiapan itu sudah oke sekali. Saat ini anggaran yang ada untuk mendukung kesiapan 70 persen dengan jumlah pesawat 132. Bicara kekuatan itu sudah cukup untuk mendukung PMD.

Saat ini tahap akhir dari pengadaan pesawat tempur F-16 Block 52ID bekas pakai Angkatan Udara Pengawal Nasional Amerika Serikat (AS) yang telah ditingkatkan kemampuannya. Secara total Indonesia memesan 24 unit dan masih menyisa lima unit lagi, Semuanya ditempatkan di dalam Skuadron Udara 16 TNI AU, di Pangkalan Udara Utama Roesmin Noerjadin, Pekanbaru, Riau.

Kami juga telah mengusulkan pengadaan pengganti F-5E/F Tiger II yang hampir satu tahun tidak terbang, pengadaan 12 radar tambahan yang akan ditempatkan di titik-titik terluar TNI, dan beberapa titik fokal lain. Gelaran pesawat-pesawat tempur di ZEE pun akan didukung jet tanker, dan sejumlah helikopter angkut dan SAR yang siaga di pangkalan udara yang menjadi home base pesawat-pesawat tempur

Indonesia yang memiliki ruang udara luas, bagaimana pandangan Anda tentang Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ). Mengapa Indonesia belum mendeklarasikannya?

Saat ini kita memang masih mengikuti ADIZ yang ditetapkan pada 1960, yakni untuk area Jawa saja. ADIZ tersebut, berada di Madiun. Nah, di masa mendatang ADIZ itu akan kita tetapkan di wilayah pintu, di wilayah ZEE, dengan tujuan siapapun yang akan melintas masuk ke wilayah Indonesia melalui pintu itu harus menyebutkan identitasnya. ADIZ kan tujuannya itu.

Ada beberapa titik untuk penetapan ADIZ yakni sebelah utara Natuna, sebelah selatan Kupang. Namun, dalam waktu dekat ini kita programkan penetapan ADIZ di sebelah barat Kepulauan We.

Dengan menghadirkan superioritas udara di wilayah terluar, ZEE, berupa gelaran pesawat-pesawat tempur sebagai kekuatan udara, radar, diperkuat penetapan ADIZ, maka kedaulatan negara akan terjaga optimal.

Pewarta: Rini Utami
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017