Jakarta (ANTARA News) - Bidang pers adalah awal karier Haji Mohammad Yunan Nasution, yang Sabtu (28/12) diperingati 100 tahunnya di Aula Buya Hamka Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta.

Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring yang membuka Seminar 100 Tahun H.M. Yunan Nasution termasuk salah satu pengagum tokoh tersebut.

Ia menilai sosok tokoh Islam itu mempunyai pribadi yang konsisten, kokoh, dan tangguh.

Berduet dengan Buya Hamka, Yunan Nasution memimpin Majalah Pedoman Masyarakat dan Soeloeh Islam di Medan tahun 1930-an.

Semasa penjajahan Belanda hingga masa revolusi, dia turut berjuang melawan Belanda dan dua kali masuk bui serta dikenai larangan tinggal (passenstelsel) di Sumatra Barat dan Tapanuli.

Yunan Nasution pernah aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) hingga terpilih sebagai anggota DPR RI.

Ternyata pengalamannya di bidang pers sangat banyak manfaatnya sewaktu dia memutuskan untuk aktif di pergerakan politik pada tahun 1940-an dan 1950-an.

Yunan Nasution pernah menjadi Ketua Masyumi Jakarta Raya serta Ketua Komite Aksi Pemilihan Umum (KAPU) tahun 1955, pemilu pertama di Indonesia.

Nazar Nasution, salah seorang putra beliau, mengatakan bahwa prestasi kemenangan Masyumi tahun 1955 menjadikan ayahnya terpilih sebagai Sekjen Masyumi selama dua dasawarsa, termasuk memimpin harian Abadi, corong Partai Masyumi.

Semasa itu, terjalin hubungan yang akrab antara dia dan sahabat-sahabatnya separtai, seperti M. Natsir, Prawoto, Muhamad Roem, Kasman Singodimedjo, Anwar Haryono, hingga tokoh PSI Sutan Syahrir, Hamid Algadri, bahkan tokoh Katolik Kasimo dan tokoh Kristen A.M. Tambunan.

"Mereka memiliki karakter dan kepribadian yang kokoh," kata Nazar.

Yunan Nasution bergaul luwes dan harmonis dengan sesama tokoh partai sealiran maupun lintas aliran: Islam, Kristen, Katolik, Sosialis, dan Nasionalis.

Sesungguhnya dialog antariman (interfaith dialogue) sudah dimulai sejak 1950-an, kata Nazar, salah seorang tokoh Angkatan 66.

Demikian pula moto yang saat ini hangat dipopulerkan "Thousand Friends, Zero Enemy", sudah lama menjadi panduan politikus RI saat itu.

Tidak ada permusuhan, pertengkaran terbuka, apalagi dendam. Kepemimpinan yang berkarakter dan berkepribadian. Kehidupan politik dan kenegaraan pada tahun 50-an itu patut dijadikan contoh dan ditiru generasi muda.

"Mereka semua adalah negarawan sejati," ujar Nazar Nasution.

Pemikiran ini dibenarkan oleh Akbar Tandjung dan Jimly Asshiddiqie, yang mewakili generasi muda dalam seminar tersebut.

Yunan Nasution mempunyai kemampuan manajemen yang mumpuni, kata Jimly.

Akbar menyebutnya sebagai pejuang yang gigih dan teladan sejati.

Sejumlah budayawan, seperti Taufiq Ismail dan Taufiq Abdullah, serta pemuka agama seperti K.H. Rasyid Abdullah Syafei dan Yunan Yusuf menyebutkan Yunan Nasution adalah pribadi yang sulit dicari bandingannya abad ini.

Adnan Buyung Nasution yang membuat pengantar untuk penerbitan kembali buku "Kesan-kesan Selama di Penjara Rezim Orde Lama" menyatakan bahwa pengorbanan Yunan Nasution yang berkali-kali mendekam dalam penjara pada masa penjajahan, kemudian berlanjut pada masa Orde Lama, membuat Yunan Nasution pantas dianugerahi pahlawan nasional.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013