Menurut pakar komunikasi bisnis Christovita Wiloto, setelah munculnya kasus korupsi pajak oleh Gayus Tambunan, penegakan hukum (law enforcement) untuk Wajib Pajak menjadi lebih berat.

"Saya beberapa kali ngobrol dengan pengusaha. Mereka bilang 'bagaimana mau bayar pajak, kalau ternyata dikorupsi. Kita mau percaya siapa?" kata dia yang luas bergaul dengan kaum pengusaha, termasuk pengusaha UKM yang disebutnya kelompok pembayar pajak terpenting di Indonesia mengingat sumbangsih pajaknya yang luar biasa.

Membayar pajak memang keharusan, tetapi masyarakat harus merasa terjamin dan terlindungi ketika membayar pajak. Perasaan ini akan memperyakin pembayar pajak bahwa kewajiban yang mereka setorkan, disalurkan dengan baik oleh sistem pengelolaan pajak.

Christovita yang lama beroperasi di Singapura ini membandingkan apa yang berlaku pada sistem pajak di negeri itu dengan di Indonesia.

"Di Singapura, orang nikmat banget, membayar pajak tetapi juga bisa menikmati langsung manfaatnya. Misal sekolah murah sekali, hanya 10 dolar. Di Australia malah gratis. Jalan dan sarana transportasi bagus-bagus, juga layanan kesehatan, seperti juga terjadi di Malaysia," kata CEO & Managing Partner Power PR Christovita Wiloto & Co ini.

Dia menekankan bahwa memberi pesan kepada masyarakat bahwa 'orang membayar pajak bukan untuk dikorupsi' adalah sangat penting. Apalagi kalau jumlah uang yang dikorupsi mencapai triliunan rupiah, orang akan menjadi berpikir ulang dan membayangkan alangkah sayangnya dana sebesar itu tidak untuk membangun sekolah dan fasilitas publik lainnya, melainkan diselewengkan.

Ketika setiap orang di Indonesia saat ini harus berjuang sendiri, dari mulai berobat sampai pendidikan dan transportasi, dana yang mereka setorkan sebagai pajak, malah digunakan tidak untuk kepentingan umum. Fakta ini menurut Christovita sangat memukul pembayar pajak.

Oleh karena itu, kata dia, selama pemerintahan masih sangat korup dengan level korupsi salah satu tertinggi di dunia, penegakan hukum menjadi tugas yang maha berat. "Harus ada sistem pembelaan. Banyak teman saya pengusaha muda yang kolaps tapi dikenai pajak juga," kata Christovita.

Dia menilai penegakan hukum harus dilakukan sebijaksana mungkin dengan melihat konteks Indonesia. Ditjen Pajak harus introspeksi dan membersihkan terlebih dahulu internalnya, sementara pemerintah juga harus bersih.

"Saya yakin jika pemerintah bersih, otomatis orang bayar membayar pajak tanpa merasa dipaksa," tegasnya yakin.

Ditjen Pajak tidak boleh bosan menerangkan dan mensosialisasikan fungsinya, terutama bahwa fungsi pajak itu diadakan demi pembangunan dan perbaikan sarana umum, misalnya memasang penegasan-penegasan tentang betapa penting dan berartinya peran pembayar pajak yang di Indonesia disebut Wajib Pajak itu.

"Pada jembatan yang sedang dibangun tempelah tulisan 'jembatan ini dibangun dengan fasilitas pajak Anda' atau 'sekolah ini murah karena disubsidi pajak Anda', " kata dia memberi contoh. Dia melanjutkan, "Saya tinggal di Singapura lama sekali, dan saya melihat masyarakat merasakan efek pajak."

Dalam konteks ini pula, penulis buku "The Power of Public Relations" dan "Behind Indonesia's Headlines" ini menilai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tak perlu mengambil langkah drastis seperti memanfaatkan jasa debt collector terhadap Wajib Pajak, sekalipun Wajib Pajak itu nakal.

Menurut dia, wacana itu harus diganti dengan memanfaatkan secara luas fungsi customer service
yang bisa bersopan santun berhubungan dengan Wajib Pajak dengan tidak menagih dan mengingatkan ketika jatuh tempo pembayaran pajak sudah lewat.

"Saya baru menangani satu bank yang kredit macetnya tinggi sekali, lalu saya sarankan untuk memperbanyak customer service perempuan untuk mengingatkan orang sebelum masa pembayaran utang mereka jatuh tempo," kata Christovita.  Dan itu berhasil.

Bagi dia menagih itu beranalogi dengan menyembuhkan, sehingga lebih baik menyehatkan dengan cara-cara persuasif seperti itu. Diingatkan sebelum jatuh tempo akan memberi Wajib Pajak waktu guna menyiapkan dana sebelum jatuh tempo pembayaran pajak tiba.

Membandingkan dengan praktik pengelolaan utang di perbankan, cara persuasif secara drastis sukses menurunkan kredit macet karena orang sebenarnya mau membayar, tapi mereka lupa. Jika secara halus diingatkan seminggu sebelum tenggat, mereka pasti membayarnya. "Jadi strategi pendekatannya yang harus diubah. Preventif, bukan reaktif," kata Christovita.

Menurut dia, "Kalau saya jadi Humas Pajak, saya akan memakai kasus Gayus dan orang-orang pajak yang ditangkap sebagai sarana bahwa di tubuh pajak telah dan tengah ada proses antikorupsi, bahwa Ditjen Pajak serius membersihkan diri."

Hubungan masyarakat ini penting karena berkaitan dengan trust. "Ketika publik percaya pajak yang dibayarkan mereka akan berguna untuk mereka sendiri, maka mereka pasti akan membayar pajak," kata Christovita.

Sembari terus mengingatkan bahwa membayar pajak itu berkaitan dengan trust, Christovita menekankan bahwa pencegahan itu lebih perlu. "Makin preventif makin bagus, jangan ditunggu sebelum kesalahan terlalu dalam dan itu costnya lebih rendah, termasuk cost sosialnya," kata dia.

Christovita juga menyarankan Ditjen Pajak untuk menganalisis sistem analisa seperti dilakukan bank saat menganalisis kredit macet. "Ditjen Pajak harus belajar dari bank bagaimana menangani Wajib Pajak yang macet."

Selain itu harus ada program gebrakan seperti sunset policy, dan tak boleh lagi dikorupsi. Kebijakan itu dianggap perlu mengingat pembayar pajak terbesar di Indonesia saat ini adalah pengusaha, terutama UKM yang disebutnya menyumbang 70 persen untuk PDB Indonesia.

"UKM di Indonesia itu sering gemas karena setelah berjuang keras meraih untung seperak demi seperak, instansi pajak malah enggak mau tahu dengan tidak memberi perlakuan khusus untuk UKM. Mereka dianggap sama dengan konglomerat," kata dia.

"Situasi seperti itu seharusnya tidak boleh terjadi. Mereka sudah bekerja keras dan menanggung bunga bank yang tinggi, sudah setengah mati bertahan dan menyumbang 70 persen PDB negara, lalu mereka mendengar ada korupsi terhadap pajak, kemudian enggak ada juga perlakuan khusus, tak ada kebijaksanaan dan fasilitas pemerintah.  Tentu ini memukul mereka," kata dia.

Padahal sebentar lagi pasar bebas diterapkan dan UKM banyak yang mati sebelum bisa tumbuh. "Setidaknya pajak pro UKM," saran Christovita, sembari menekankan keperluan mempersatukan UKM guna menghadapi persaingan usaha yang semakin berat menyusul pasar bebas.

Dalam soal ini pula, Christovita tak bersetuju dengan langkah terlalu keras kepada Wajib Pajak. "Lebih baik membantu mitra bisnis agar pelanggaran pajak tidak terjadi," katanya.

Dia menekankan pengelolaan pajak tidak dikerangkakan demi meraup dana masyarakat, sebaliknya untuk membuat perekonomian semakin maju. "Seperti polisi yang baik, harusnya jangan berdiri di belakang rambu tapi di depan rambu. Tidak langsung menilang, tapi memberi tahu yang benar," katanya beranalogi.

Hal itu sama dengan pentingnya sosialisasi pajak karena bisa jadi orang berbuat salah karena mereka tidak mengerti mekanisme dan fungsi pajak. Sosialisasi sangat penting dan Ditjen Pajak tak boleh bosan melakukannya.

"Dulu sebelum Gayus ditangkap iklan dan penjelasan tentang pajak banyak sekali. Sekarang harus lebih banyak lagi," tutup Christovita.

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013