Yang jelas kami mempertanyakan itu, karena sampai sekarang kejaksaan tidak pernah terbuka soal berapa buron koruptor yang masih diburu."
Jakarta (ANTARA News) - Pada 17 Oktober 2006, Jaksa Agung saat itu, Abdul Rahman Saleh meluncurkan secara resmi penayangan 14 wajah koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Wajah pertama yang ditampilkan adalah Sudjiono Timan, terpidana korupsi PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang belakangan namanya mencuat kembali pasca-diputus bebas melalui Peninjauan Kembali (PK).

Saat ini, di bulan yang sama tujuh tahun kemudian, bagaimanakah kabarnya gaung penayangan 14 koruptor itu?, "mati suri"kah gaung itu atau hanya akan dimunculkan pada saat-saat "darurat" saja untuk menaikkan citra. Wallahualam!.

Yang jelas, sampai sekarang masih bisa dihitung dengan jari buron BLBI yang berhasil ditangkap, ironisnya buron koruptor Sudjiono Timan masih bisa-bisanya mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung tanpa kehadirannya dan fatalnya lagi permohonan PK itu dikabulkan dan bebaslah dia. Kasus itu menunjukkan semakin carut-marutnya peradilan di Tanah Air.

Satu buron BLBI, Sherny Kojongian dibawa ke Tanah Air setelah ditangkap Interpol di San Francisco, Amerika Serikat. Ia diterbangkan ke Indonesia tahun lalu. Adrian Kiki Ariawan, kasus BLBI Bank Surya saat ini proses ekstradisinya masih ditangani High Court Australia atau setara Mahkamah Agung (MA) di Indonesia.

Ke-14 buron korupsi BLBI yang ditayangkan itu, yakni, Sudjiono Timan (Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)), Eko Edi Putranto (Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS)), Samadikun Hartono (Presdir Bank Modern), Lesmana Basuki (Kasus BLBI), Sherny Kojongian (Direksi BHS), Hendro Bambang Sumantri (Kasus BLBI), Eddy Djunaedi (Kasus BLBI), Ede Utoyo (Kasus BLBI), Toni Suherman (Kasus BLBI), Bambang Sutrisno (Wadirut Bank Surya), Andrian Kiki Ariawan (Direksi Bank Surya), Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani (Kasus BLBI), Nader Taher (Dirut PT Siak Zamrud Pusako), dan Dharmono K Lawi (Kasus BLBI).

Satu lagi lelucon baru, yakni, berkurangnya jumlah buron BLBI di dalam laman Kejagung menjadi empat orang, kemanakah sisanya? Apakah memang ada kesalahan teknologi laman itu.

Keempat buron itu yakni Eko Edi Putranto (Mantan Komisaris PT BHS), Hendro Bambang Sumantri (Pensiunan Departemen Perdagangan RI), Lesmana Basuki (Presiden Direktur PT Sejahtera Bank Umum (PT SBU)), dan Samadikun Hartono (Mantan Komisaris Utama PT Bank Modern Tbk), dan Hary Matalata (Direktur PD Pooja dan PT Devi Pooja Kumari), ditambah dua buron baru kasus Century Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizvy.

Sedangkan Wakil Jaksa Agung (Waja) saat itu, Dharmono pada 13 Juni 2012 menyebutkan masih ada 23 buron BLBI yang belum ditangkap pascadipulangkannya satu buron BLBI, Sherny Kojongian ke Tanah Air, setelah ditangkap Interpol di San Francisco, AS.

Konon alat sadap yang dimiliki Kejagung itu memiliki kecanggihan di atas milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kembali lagi bagaimana hasilnya?, adalah yang ditangkap hanya buron korupsi kelas teri saja bukan buron kelas kakap.

Karena itu, tidaklah mengherankan jika Indonesian Corruption Watch (ICW) mempertanyakan berkurangnya jumlah buron koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di dalam laman Kejaksaan Agung.

"Yang jelas kami mempertanyakan itu, karena sampai sekarang kejaksaan tidak pernah terbuka soal berapa buron koruptor yang masih diburu," kata anggota Badan Pekerja ICW, Emerson F Yuntho.

Emerson menambahkan, Kejaksaan harus memberikan penjelasan publik mengenai berkurangnya jumlah buron koruptor itu, dan harus terbuka secara gamblang atau secara resmi sebenarnya ada berapa buron koruptor BLBI yang masih diburu sampai sekarang.

"Kami meminta Kejagung terbuka menjelaskan sebenarnya ada berapa buron koruptor BLBI yang belum ditangkap," ucapnya, menegaskan.

Bahkan, ia menduga Kejagung sudah menghentikan kasus penyidikan sejumlah buron koruptor itu, tanpa memberitahukan ke publik.

Karena itu, pihaknya menilai Kejagung tidak serius di dalam pengejaran para koruptor tersebut, salah satunya saat kami meminta "up date" (diperbarui) jumlah buronan koruptor beberapa waktu lalu, sampai sekarang tidak ditanggapi.

"Sampai sekarang permintaan up date jumlah sesungguhnya buronan koruptor yang belum ditangkap, belum dipenuhi sama sekali," katanya.

Semula, menurut dia, jika sudah ada data yang jelas jumlahnya berapa maka akan disamakan dengan jumlah yang dimiliki oleh ICW.

Ia juga menyoroti soal hasil tangkapan buronan korupsi oleh kejaksaan sejak berdirinya "Monitoring Center" atau alat sadap pada Juli 2011, bukannya kelas kakap.

"Kita sayangkan buronan korupsi yang ditangkap itu bukannya kelas kakap," ujarnya.

Hal serupa ditanyakan pula oleh LSM Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) soal keseriusan Kejaksaan Agung dalam pengejaran buron korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

"Pasalnya sampai sekarang terlihat tidak serius dalam pengejarannya," kata Koordinator LSM MAKI, Boyamin Saiman.

Ditambahkan, kenyataannya saat ini buron korupsi yang ditangkap oleh Kejagung hanya buron kelas teri saja atau tidak ada buron skala besar seperti kasus BLBI.

Ia juga mempertanyakan soal jumlah sesungguhnya buron BLBI yang sampai sekarang belum tertangkap.


Versi Kejagung

Sebelumnya dilaporkan, Kejaksaan Agung telah berhasil menangkap sebanyak 100 buronan kejaksaan terhitung sejak berdirinya "Monitoring Center" atau alat sadap pada Juli 2011, antara lain karena canggihnya alat penyadap yang digunakan tersebut.

"Seratus buronan sudah ditangkap," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Setia Untung Arimuladi pada 20 September 2013.

Rinciannya pada Juli sampai akhir 2011 ditangkap delapan buronan, Januari sampai Desember 2012 sebanyak 50 orang dan Januari 2013 sampai sekarang sebanyak 32 orang.

Keberhasilan menangkap 100 buronan koruptor selama tiga tahun terakhir ini, menunjukkan berapa pentingnya keberadaan monitoring center dalam memenuhi kebutuhan sistem intelijen.  (R021/Z002)

Oleh Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013